Pertanyaan ini mungkin terdengar provokatif, bahkan cenderung menyakitkan bagi banyak orang, terutama mereka yang hidup dengan gaji Upah Minimum Regional (UMR). Namun, isu ini sering kali muncul dalam perbincangan sehari-hari, terlebih di media sosial, di mana sebagian orang menyalahkan masyarakat berpenghasilan rendah karena memilih menikah dan berkeluarga meski hanya berbekal gaji pas-pasan. Jadi, mari kita telaah lebih dalam: apakah benar orang yang bergaji UMR tidak layak menikah?
1. Mengalihkan Tanggung Jawab Negara ke Individu
Pertama-tama, penting untuk menyadari bahwa pernyataan seperti "pria bergaji UMR tidak boleh menikah" sering kali menunjukkan kecenderungan untuk menyalahkan individu atas kemiskinan mereka. Padahal, dalam konteks ekonomi dan sosial, kita tidak bisa semata-mata menyalahkan individu atas kondisi finansial yang sulit. Tanggung jawab utama dalam memastikan kesejahteraan rakyat ada di tangan negara.
Negara seharusnya berperan aktif dalam menciptakan lapangan kerja yang layak, memberikan upah yang memadai, dan memastikan adanya perlindungan sosial bagi warganya. Namun, kenyataannya, gaji UMR yang ditetapkan sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi untuk berkeluarga. Menurut data, biaya hidup di kota-kota besar di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar UMR, sehingga banyak pekerja yang harus berjuang ekstra untuk memenuhi kebutuhan harian mereka.
2. Kemiskinan sebagai Masalah Struktural, Bukan Pilihan Pribadi
Pernyataan bahwa seseorang dengan gaji UMR tidak seharusnya menikah juga merupakan bentuk victim blaming, di mana kesalahan atas masalah sosial yang lebih besar dialihkan kepada individu. Padahal, kemiskinan bukanlah masalah yang terjadi karena pilihan pribadi, melainkan hasil dari masalah struktural yang lebih kompleks, seperti ketidak adilan ekonomi, akses yang tidak merata terhadap pendidikan, dan kebijakan upah yang tidak memadai.
Dalam pandangan filsafat sosial, misalnya menurut welfare state ala John Rawls, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin fair equality of opportunity bagi semua warga negara. Artinya, negara seharusnya menyediakan lingkungan di mana setiap orang memiliki kesempatan yang setara untuk mencapai kehidupan yang layak, termasuk dalam hal berkeluarga. Negara yang gagal menyediakan upah layak berarti telah mengingkari social contract antara pemerintah dan rakyatnya.
3. Realitas Gaji UMR dan Kesenjangan Sosial
Di Indonesia, UMR ditetapkan berdasarkan pertimbangan ekonomi tertentu, namun sering kali tidak cukup untuk menutupi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, serta kebutuhan tambahan seperti pendidikan anak. Menurut survei, banyak pekerja yang bergaji UMR harus hidup dengan pola pengeluaran yang sangat ketat, tanpa ruang untuk menabung atau menghadapi keadaan darurat. Dalam situasi ini, apakah adil menyalahkan mereka yang ingin menikah dan membangun keluarga?
Sebaliknya, pertanyaan yang lebih relevan seharusnya adalah: mengapa gaji UMR tidak cukup untuk hidup layak? Apa yang bisa dilakukan negara untuk memperbaiki standar hidup rakyatnya? Apakah kebijakan ekonomi dan sosial yang diterapkan sudah benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat banyak?
4. Hak Asasi untuk Menikah dan Berkeluarga
Menikah dan berkeluarga adalah hak asasi yang diakui oleh berbagai konvensi internasional, termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan keluarga. Menghalangi seseorang untuk menikah hanya karena keterbatasan ekonomi adalah bentuk diskriminasi yang tidak adil.
Jika kita merujuk pada ajaran-ajaran filosofis tentang keadilan, seperti pandangan Amartya Sen tentang capability approach, seharusnya masyarakat dan negara bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki kemampuan nyata (bukan hanya kebebasan formal) untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga, termasuk memiliki keluarga.
5. Menata Ulang Perspektif: Memperjuangkan Keadilan Sosial
Dari pada menyalahkan orang yang bergaji UMR, kita seharusnya fokus pada upaya memperbaiki kebijakan yang tidak adil. Ketimpangan upah, tingginya biaya hidup, dan minimnya perlindungan sosial merupakan masalah yang harus diatasi melalui kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat. Misalnya, kebijakan peningkatan UMR yang sesuai dengan kenaikan inflasi dan biaya hidup, akses yang lebih luas ke pendidikan dan pelatihan keterampilan, serta dukungan bagi usaha kecil dan menengah yang dapat membuka lapangan kerja baru.
Sebagai masyarakat, kita juga perlu lebih kritis terhadap narasi yang menyalahkan individu dari pada mempertanyakan kegagalan sistemik. Misalnya, alih-alih mengatakan "kalau mau menikah harus mikir dulu," lebih baik kita bertanya, "mengapa negara tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya?"
6. Kesimpulan: Menikah adalah Hak, Bukan Privilege
Pada akhirnya, menikah adalah keputusan pribadi yang seharusnya tidak dibatasi oleh kondisi ekonomi semata. Mengingat bahwa kemiskinan adalah masalah struktural yang melibatkan tanggung jawab negara, sudah saatnya kita mengubah perspektif kita dari menyalahkan individu menjadi menuntut perubahan kebijakan yang lebih adil.
Negara memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, termasuk melalui upah yang layak dan kebijakan sosial yang mendukung. Oleh karena itu, daripada melarang orang menikah karena alasan ekonomi, kita seharusnya berjuang bersama untuk membangun sistem yang lebih adil dan manusiawi.
Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan "Apakah pria dengan gaji UMR tidak boleh menikah?" adalah: tentu saja boleh. Namun, lebih penting lagi, kita harus memperjuangkan kondisi di mana setiap orang bisa menikah dan berkeluarga tanpa harus khawatir terjerat dalam kemiskinan.