Menariknya menyusuri kanal ialah mengamati satu sisi kota ini. Dinamika sebagian warga kota terekam dari sisi kanal.
Makassar memiliki tiga kanal primer yang alirannya membelah kota yakni kanal Pannampu, Jongaya, dan Sinrijala dengan panjang keseluruhan sekitar 40 kilometer. Sementara kanal tersier atau kanal kecil memiliki panjang 3.200 km. Rumah kami sangat dekat dengan kanal Jongaya, hanya sekitar 200 meter jaraknya. Itulah kenapa saya sering sekali “menikmati” pemandangan di sekitar kanal.
Saling mencari kutu antarperempuan penghuni tepi kanal, merupakan pemandangan yang biasa. Begitu pun anak-anak yang terjun bebas dan berenang di dalamnya. Bocah-bocah ini menganggap kanal yang keruh dan bersampah itu bak sungai yang jernih saja.
Ada yang bersenda gurau, ada yang berbincang santai.
Mereka tak peduli pemandangan kumuh dan kotor yang terlihat. Sampah tak pernah sirna dari sekitar mereka. Salah mereka juga sebenarnya, tak pandai menjaga lingkungan. Pun pemerintah, kurang tegas menindak pelaku pembuang sampah padahal ada papan peringatan berukuran raksasa di situ.
Wajah mereka ceria atau biasa saja. Sementara saya, setiap melewati mereka, selalu mengelus dada yang bergetar oleh perasaan miris. Belum lagi melihat pohon yang tumbuh di tepi kanal, banyak yang tumbuh miring, mengarah ke kanal. Suatu saat bisa saja tumbang, menimpa kanal yang mengalami proses pendangkalan parah itu.
Angin segar saya rasakan sewaktu menonton kampanye pemilihan walikota beberapa waktu lalu. Ada langkah yang kelihatannya signifikan yang dipaparkan calon walikota yang arsitek itu. Mudah-mudahan saja perubahannya pun signifikan ketika ia yang akhirnya terpilih, sah bertugas sebagai walikota baru.
Bukan hanya saya, pasti banyak warga kota ini yang memimpikan ekspresi Indonesia yang sehat di kanal Makassar.
Makassar, 5 November 2013