Dewasa ini perkembangan Islam terlihat semakin marak. Aktivitas shalat berjamaah kaum muslim semakin meningkat. Demikian juga dengan minat mengaji ajaran agama juga tinggi. Kaum hawa – baik ibu-ibu maupun gadis-gadis remaja – semakin banyak yang memakai kerudung, walau kebanyakan dari mereka masih banyak yang memakainya hanya ketika bepergian atau menghadiri acara resmi seperti kondangan. Suatu perkembangan yang sangat bagus secara fisikal (jasmani).
Namun jika kita perhatikan secara batin (rohani) dengan seksama, akan terasa adanya suatu kekurangan, ada something wrong yang harus kita kaji dan benahi; apakah itu dalam konsep Islam, dalam pemahaman, atau dalam pelaksanaan. Islam dalam konsep tidak mungkin salah, karena Islam perpedoman pada Al-Quran yang merupakan firman-firman Allah yang kita yakini tidak mungkin salah, sebab Allah Maha Tahu, Maha Benar, Maha Bijaksana, dan segala Maha-Maha lainnya. Jadi, kemungkinan adanya kekurangan atau something wrong tersebut ada pada pemahaan atau/dan pelaksanaannya.
Seyogianya dalam kehidupan warga yang semakin Islami akan berkorelasi positif pada suasana kehidupan yang teduh dan nyaman (penuh rahmat). Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, aura hidup dan kehidupan masyarakat terasa mendung dan panas; korupsi dalam skala besar maupun kecil semakin merajalela karena ketamakan dan hati jauh dari Allah; hukum bukan melindungi rakyat tapi dalam prakteknya justru banyak dikuasai mafia; halal atau haram bukan lagi menjadi pertimbangan dalam mengumpulkan rezeki; ketimpangan hidup para warga bukan menjadi wahana untuk saling tolong menolong atas nama ibadah dan sedekah namun sebaliknya menjadi sebuah pergunjingan dan olok-olokan karena riak; perbedaan pandangan bukan menjadi sebuah keberagaman dalam kesatuan tetapi justru menjadi alat untuk mencemooh atau menyalahkan atau menjelek-jelekkan pihak lain karena ego merasa benar sendiri dan ingin menang sendiri. Inilah realita yang dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat maupun dalam ceramah-ceramah agama yang disampaikan oleh sebagian besar juru dakwah yang merasa benar sendiri, sehingga ceramah agama yang seharusnya bisa memberikan keteduhan dan kenyamanan bagi isi alam tapi sebaliknya jutru malah berpotensi menimbulkan gejolak di masyarakat.
Sebagai manusia yang diciptakan paling sempurna – diantara makhluk-makhluk lain – oleh Allah dan dianugerahi daya cipta dan rasa, sudah semestinya kita harus menelaah fenomena tersebut, dimana umat Islam secara fisikal semakin nampak rajin beribadah namun secara batiniah suasana kehidupan masyarakat semakin jauh dari rasa teduh dan nyaman. Pertanyaanya, dimanakah letak kesalahannya ?
ISLAM ADALAH RAHMATAN LI L-ALAMIN
Semua para juru dakwah dan siapapun yang pernah mengaji agama Islam atau sekurang-kurangnya pernah mendengar ceramah agama Islam tentu tahu atau setidak-tidaknya pernah mendengar bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam, bukan rahmat bagi satu kaum atau beberapa golongan saja. Disini, kita harus berfikir luas dan jernih dalam menterjemahkan kata “alam” tersebut.
Alam semesta menurut Al-Quran adalah seluruh isi langit dan bumi.
LANGIT seisinya yang Allah sebut sebagai atap meliputi planet-planet, bintang-bintang, galaxy, dan lain-lain serta para penghuni didalamnya. Kita harus meyakini bahwa Allah tidak menciptakan ruang hampa yang tiada penghuni. Ruang angkasa dan planet-planet lain pun ada penghuninya yaitu penduduk langit yang juga makhluk Allah dalam dimensi lain (makhluk gaib) yang tidak dapat dilihat atau dirasa oleh panca indera manusia, kecuali orang-orang yang mempunyai kelebihan indera ke-enam.
Beberapa firman Allah yang secara tersirat menunjukkan bahwa langit yang nampak sebagai ruang kosong sebenarnya berpenghuni, antara lain :
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS Al-Hasyr ayat 24
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” QS Al-Hujuraat ayat 18.
“Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS Al-Fath ayat 7.
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” QS Maryam ayat 93.
“Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri.” QS An-Nahl ayat 49.
BUMI seisinya meliputi manusia, binatang (baik yang hidup di dalam tanah, diatas tanah, ataupun yang terbang di udara), tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati, juga Jin – yang Allah ciptakan hidup di dalam dimensi lain.
Maka Islam yang rahmatan li l-alamin adalah mampu memberikan rahmat kepada seluruh langit seisinya dan bumi seisinya.
Allah menciptakan manusia dalam kemajemukan yang terdiri dari berbagai jenis bangsa dan ras serta bahasa yang berbeda-beda yang memiliki budaya, keyakinan dan pola hidup yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi alam dan tingkat pemikiran dan peradaban masing-masing bangsa itu sendiri. Maka Islam yang rahmatan li l-alamin adalah mampu menjadi rahmat bagi seluruh manusia, bukan hanya kepada umat Islam itu sendiri, tetapi juga menjadi rahmat bagi umat-umat agama lain, bangsa lain, bahkan termasuk juga menjadi rahmat bagi segenap binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati, serta Jin, Malaikat yang hidup di dalam dimensi lain.
Mari kita sama-sama merenung, bagaimana Islam akan mampu memberikan rahmat bagi segenap isi alam jika untuk memberikan rahmat bagi manusia yang berbeda-beda saja belum mampu? Padahal kita tahu Allah sengaja menciptakan manusia ini terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda-beda. Dan ironisnya mayoritas umat Islam – sebagian para juru dakwah khususnya – masih terbelenggu ego merasa benar sendiri dan cenderung memvonis salah pada agama lain, bahkan juga menyalahkan golongan Islam lain yang berbeda pendapat dalam menterjemahkan Al-Qur’an dan berbeda dalam praktek ibadah.
Firman Allah dalam QS Al-Hujuraat ayat 13 :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
SUDAHKAH ISLAM KITA RAHMATAN LI L-ALAMIN ?
Kita dapat menggunakan kata “rahmat” atau “keteduhan dan kenyamanan hidup” sebagai acuan untuk mengukur apakah Islam yang kita yakini dan laksanakan sudah rahmatan li l-alamain.
Kita tidak akan membahas makhluk Allah yang hidup di dimensi lain seperti Malaikat, Jin, dan sebagainya karena mata kita tidak mampu melihat dunia mereka sehingga kita tidak tahu apakah kehidupan dunia Jin dan Malaikat penuh dengan keteduhan dan kenyamanan. Dan oleh sebab penulis adalah manusia dan pembaca tulisan ini juga manusia, maka kita batasi bahasan ini dalam lingkup manusia saja.
Jika kita sudah sepakat bahwa Islam yang benar adalah rahmatan li l-alamin, maka untuk mengetahui apakah Islam kita sudah rahmatan li l-alamin mari kita jujur terhadap diri sendiri untuk menjawab beberapa pertanyaan introspeksi sederhana dibawah ini :
1. Apakah saya beriman kepada Allah dan merasa Allah selalu bersemayam dihati sehingga kapanpun dan dimanapun berada saya selalu ingat Allah dan mampu membawa diri, selalu berbuat baik dan bisa menghindari perbuatan tidak terpuji ?
2. Apakah saya dalam melakukan ibadah, misalnya shalat berjamaah, bersedekah, bergotong royong, dan lain-lain adalah benar-benar lilahita’ala tiada unsur riak atau ingin dipuji oleh orang lain ?
3. Apakah kata-kata yang saya sampaikan dalam ceramah atau obrolan adalah benar menurut agama, dan penyampaiannya saya kemas dalam bahasa sebaik mungkin untuk tidak menyakiti perasaan orang lain yang tidak sehaluan dengan saya ?
4. Apakah saya bisa menghargai sebuah perbedaan pendapat atau pandangan dan mampu menganggapnya sebagai sebuah keberagaman ?
5. Apakah saya tetap bersikap bersopan santun dan bertata krama serta menghargai orang lain yang berbeda pendapat atau pandangan hidup dengan saya ?
6. Apakah saya sudah cukup peduli kepada fakir miskin, para janda, anak yatim piatu, dan orang jompo dengan menyedekahkan sebagian harta Saya untuk tulus ikhlas membantu mereka ?
7. Apakah antara hati, ucapan, dan perbuatan saya selalu serasi dan sejalan sebagai wujud keimanan yang saya yakini dalam hati, saya ucapkan dalam perkataan, dan saya lakukan dalam perbuatan ?
(note; 7 pertanyaan introspeksi diatas hanya beberapa pertanyaan dari sekian banyak parameter yang bisa digunakan untuk mengukur kebenaran islam kita)
Kalau dari semua pertanyaan diatas hati suci kita merasa yakin menjawab “YA” maka Insya Allah Islam kita sudah masuk kategori Islam yang rahmatan li l-alamin.
Namun jika kita merasa masih ada sebagian atau semua dari pertanyaan diatas hati suci kita menjawab “KADANG-KADANG” atau “BELUM” apalagi “TIDAK” maka ada baiknya kita memikirkan kembali cara berfikir (pemahaman) Islam kita secara lebih baik dan benar, sembari membenahi praktek hidup dan kehidupan kita menjadi lebih baik, agar Islam kita bisa rahmatan li l-alamin.
ISLAM – KEBERAGAMAN DALAM MENYEMBAH ALLAH
Banyak diantara kita yang sebenarnya sudah mulai mengerti Islam bahkan banyak yang sudah bertahun-tahun mempelajari Islam hingga sampai pada tahap sangat yakin dengan ilmu pengetahuan Islam yang dimilikinya, namun sangat disayangkan justru ke-sangat-yakinan-nya itu membawa pada sifat ego kebenaran bahwa hanya pandangan atau pemahaman mereka saja yang benar. Sehingga banyak diantara kita yang lupa bahwa seluruh isi alam – bukan hanya manusia; tetapi juga hewan, tumbuhan, benda mati, Jin, dan Malaikat pun – menyembah dan bertasbih kepada Allah dengan cara masing-masing. Sering diantara kita menyalahkan praktek beribadah orang lain yang dianggap berbeda dan menyalahan agama lain (bahkan kadang sampai tingkat benci atau anti) sedangkan mereka sebenarnya tidak mengetahui bagaimana cara dan hakikat orang yang disalahkan tersebut.
“Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya[1], dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” QS An-Nuur ayat 41.
[1] : Masing-masing makhluk mengetahui cara shalat dan tasbih kepada Allah dengan ilham dari Allah.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” QS Al-Israa ayat 44.
Jadi, sudah seyogianya kita harus bisa saling menghargai perbedaan pendapat, pandangan, ataupun cara bagaimana menyembah Allah, sebab yang terpenting adalah bukan penyeragaman pendapat, pandangan, atau tata-cara menyembah Allah, tetapi apapun dan bagaimanapun pemahaman, pandangan, dan tata-cara menyembah Allah yang terpenting mampu mewujudkan ruh Islam, yaitu rahmatan li l-alamin, yang diimplementasikan pada perasaan, ucapan, dan perilaku yang benar-benar memberikan kesejukan dan kenyamanan bagi segenap isi alam, itulah hakikat Islam yang sebenarnya.
ISLAM – SEBUAH JALAN KEBENARAN
ISLAM yang rahmatan li l-alamin bukanlah suatu alat untuk menyeragamkan manusia dan makhluk lain atau benda lain ciptaan Allah dari segi pemahaman, pandangan, budaya, dan tata-cara bagaimana menyembah Allah. ISLAM yang rahmatan li l-alamin juga bukan sebuah label (trade mark) yang menjanjikan jika Anda beli label ini maka Anda akan selamat. Tetapi ISLAM yang rahmatan li l-alamin adalah sebuah JALAN KESELAMATAN. Apapun label (agama) kita, bahwa kita akan selamat atau tidak selamat itu akan tergantung pada diri kita sendiri, bukan tergantung pada label. Sebagai sebuah jalan keselamatan, Islam yang rahmatan li l-alamin adalah menekankan hakikat kebenaran itu sendiri, jadi walaupun kita membeli label yang mengklaim jalan masuk surga tetapi jika hati, perkataan, dan perbuatan kita tidak memenuhi unsur yang memberikan rahmat bagi alam maka belum tentu kita akan masuk surga.
Kunci pembuka surga adalah iman dan amal shaleh, bukan label. Iman (keyakinan) bukan hanya milik orang Islam, begitu juga amal shaleh (perbuatan baik) bukan monopoli milik orang Islam. Semua agama apapun pasti mengajarkan iman dan mewajibkan penganutnya untuk melakukan perbuatan baik. Sebagaimana kita ketahui bahwa iman adalah kebenaran yang kita yakini di dalam hati (terutama kepada Allah), kemudian tutur kata kita sesuai dengan keyakinan yang bersemayam di hati, dan selanjutnya amal perbuatan kita sesuai dengan tutur kata dan keyakinan di dalam hati itu tadi. Keseragaman antara hati, tutur kata, dan perbuatan dalam kehidupan itulah disebut iman, maka dengan iman tersebut akan melahirkan perbuatan-perbuatan atau ibadah-ibadah yang baik yang disebut amal shaleh (amal yang baik).
Implementasi dari iman adalah hati yang baik dan bersih dari penyakit hati seperti iri, dengki, kikir, riak, tamak, takabur dan sebagainya. Kemudian diiringi dengan tutur kata yang baik dan menyejukkan, jauh dari ucapan-ucapan yang menyakiti atau menjelek-jelekkan atau menyalahkan apalagi memfitnah orang lain. Serta ditindak-lanjuti dengan perbuatan-perbuatan atau ibadah-ibadah hidupnya yang senantiasa baik dan memberikan kenyamanan bagi orang lain dan makhluk-makhluk lain. Iman yang baik dan benar akan mengejawantah pada amal-amal shaleh atau perbuatan baik.
Antara Iman dan Amal Shaleh adalah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Jika seseorang itu beriman dengan sebenar-benarnya iman maka akan berkorelasi positif pada perbuatan-perbuatan yang baik (amal shaleh), atau sebaliknya, jika seseorang itu perbuatannya baik (amal-nya shaleh) maka sudah tidak diragukan lagi bahwa dia adalah orang beriman. Iman adalah suatu keyakinan, dan amal shaleh adalah wujud nyata atau implementasi dari keyakinan tersebut yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita buat sebuah pertanyaan; jika orang beriman akan berkorelasi positif pada amal shaleh, atau orang beramal shaleh tentu orang beriman, mengapa tidak disebut saja yang masuk surga adalah orang “beriman” atau “beramal shaleh” saja? Mengapa Allah dalam firman-Nya menyebut orang yang “beriman dan beramal shaleh” sekaligus ?
Kita perhatikan beberapa firman Allah dibawah ini :
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” QS Al-Hajj ayat 14.
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.” QS AL-Hajj ayat 23.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” QS Al-Kahfi ayat 107.
Kita terjemahkan dengan logika pikir yang mendekati kebenaran ; bahwa yang Allah maksudkan sebagai orang beriman adalah orang-orang yang benar-benar beriman dan dari keimanan tersebut dapat berkorelasi positif pada perbuatan-perbuatannya yang baik. Bukan beriman yang sekedar dalam ucapan namun perbuatannya banyak tidak terpuji, atau pura-pura berbuat baik padahal hanya untuk mengelabuhi mata orang lain, sebab yang demikian ini termasuk dalam golongan orang munafik. Allah Maha Tahu bahwa dalam kehidupan manusia baik sejak zaman dahulu hingga sekarang ini banyak manusia yang hanya bermanis mulut, berbicara tentang iman atau mengaku iman, namun perbuatannya masih banyak yang tidak baik dan tidak benar, dengan kata lain bibir mengucap iman namun perbuatannya tidak shaleh. Oleh sebab itu dalam banyak firman Allah menegaskan yang masuk surga adalah “orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh” sekaligus dalam rangkaian satu kalimat.
Menarik untuk disimak, Allah selalu menegaskan kata “beriman” terlebih dahulu baru kata “beramal shaleh”. Ini suatu penegasan bahwa iman itu tumbuh terlebih dahulu di lubuk hati seseorang sehingga mendasari orang tersebut untuk berbuat baik. Dikarenakan iman sudah tersemat di dada maka amal perbuatan seseorang menjadi baik. Maka ketika seseorang itu hidupnya dipenuhi dengan perbuatan baik atau amal shaleh itu berarti orang tersebut telah memiliki iman, terlepas dari seberapa banyak atau seberapa sedikit pengetahuan Islam orang tersebut, sebab setiap insan memiliki daya cipta dan rasa yang mampu menangkap ilham dari Allah.
SARAN
Bagi kita yang merasa pengetahuan Islam (secara tekstual) kita belum seberapa, diharapkan jangan merasa diri belum tahu Islam, sebab orang Islam yang rahmatan li l-alamin bukan dilihat dari seberapa banyak pengetahuan tekstual Islam kita, melainkan dilihat dari seberapa tinggi iman kita yang ditunjukkan pada seberapa banyak perbuatan baik kita. Jadi, walau kita merasa belum belajar Islam secara mendalam, namun jika di dada kita ada iman, dan hati, ucapan serta perbuatan kita baik, maka insya Allah Islam kita sudah rahmatan li l-alamin.
Ilmu pengetahuan atau pemahaman tekstual tetang Islam memang penting dan harus dipelajari, namun luasnya pengetahuan atau pemahaman Islam secara tekstual tersebut tidak menjamin kuatnya iman seseorang. Sebaliknya walau pengetahuan atau pemahaman Islam secara tekstual kita masih sedikit, asal amal perbuatan kita baik (shaleh) itu artinya didada kita sudah ada iman, dan dengan iman yang sudah terimplementasikan pada perbuatan-perbuatan yang baik tersebut maka kita akan mampu menangkap ILHAM dari ALLAH dengan daya cipta dan rasa yang kita miliki, sehingga walau kita belum membaca firman-firman Allah secara tekstual namun pada hakikatnya amal perbuatan kita sudah sesuai dengan yang Allah kehendaki.
PENUTUP
Demikian uraian singkat dengan pokok bahasan “Islam (Seharusnya) Rahmatan Li l-Alamin” ini dibuat dengan tulus ikhlas tanpa ada tendensi apapun selain mengharap ridha kepada Allah SWT. Jika sekiranya ada perbedaan-perbedaan pemahaman atau perbedaan pendapat diharapkan bisa menjadi sebuah kemajemukan dalam ber-Islam dan saling menyadari dari sudut manapun kita melangkah, intinya tetap menyembah satu Allah, dan sama-sama mengharap semoga Islam kita sama-sama menjadi rahmat bagi alam.
Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah Allah selalu memayungi kita.
Banaran, 30 April 2010
MUGIYONO BAYU KRESNO, S.Pd
Dedicated to Shih Pau Ling