berbunyi di atas langit.
Wajah awan-awan pucat
melihat bulu kulit bumi tengah berdiri berkeringat;
dirasuki setan tanah berjuta sayap malaikat
Alarm itu terngiang sampai telingaku
lalu menuntun sampai tempat di mana
setan tanah sedang menjarah:
Air mata bermuncratan
dari mulut seorang tua yang menganga.
Tubuhnya bergetar
bersamaan dengan gempa tangan baja.
Telinganya didobrak deru excavator
yang membabi-buta saat menjilat
tanah di pinggir kali, rumahnya sendiri;
tempat pohon keluarga bersemi
yang kini menjadi puing dalam hati
Seorang tua itu pingsan dalam pangkuan anak-anaknya.
Sumpah serapah bergejolak di hati yang suci,
yang tinggal di pinggir kali
Aku yang sejak saat itu tak berbuat apa-apa
hanya menjadi batu kali
yang dilalui air mata
hanya angin
hanya ingin
Kehidupan di pinggir kali itu:
menjadi janji
suci
pulih
bersih
menjadi mungkir
puing
sampah busuk
sarang nyamuk
Kini aku hanya mampu bertanya dalam sajak.
Apa sebenarnya hakikat pembangunan
bila hanya membuahkan penggusuran
yang menelanjangi hak asasi tanah?
Sesuci apa pembangunan
bila wajah seorang tua basah
sebab mendung di tanahnya
hujan badai di matanya?
Semewah apa pembangunan
jika ternyata ada yang tertindih kekumuhan
dalam puing-puing peradaban?
Wajah awan-awan makin pucat
meneteskan air mata lebat
membasahi reruntuhan
membanjiri ingatan
mengalir ke kali
menjadi deras di hati
Alarm jagat raya itu
kini tinggal dalam telepon genggamku:
selalu membangunkan tepat waktu
selalu meretakkan perasaan
yang membatu