di pelataran kampus yang penuh tulisan basa-basi
di antara lalu-lalang mahasiswa masa kini.
Aku menangis dalam puisi
mereka terheran-heran dalam dunia.
Panas matahari mengetuk pintu mataku
memaksaku mendongak ke cakrawala
untuk membaca kabar awan bakaran
untuk bergerak dan bertindak.
Aku baca awan bakaran
kudengar teriakan di dalam gumpalannya
yang berpecahan menjadi hujan
lalu membasahi tanah berlapis aspal.
Tanpa basa-basi langsung kuhampiri
kusentuh bercakan air
yang menyesap pada panas aspal.
Bercakan air itu bagai arah
membawaku menuju gedung serakah.
Betapa ramainya di sana
kulihat ratusan kepalan tangan yang menuding ke cakrawala.
Serta teriakan yang keluar dari mulut-mulut mahasiswa:
Hidup mahasiswa!
Hidup rakyat!
Kusentuh barisan perjuangan yang berhadapan dengan benteng pertahanan dan dibatasi gerbang menjulang.
Lalu kudengar lagi teriakan:
Hidup mahasiswa!
Hidup rakyat!
Lawan!
Puluhan mahasiswa antri naik mobil orasi
satu persatu naik dan berbicara dengan nada tinggi:
Tolak!
Tolak!
Segala bentuk penindasan.
Lawan!
Lawan!
Hari jadi sore
goresan-goresan lembayung senja mulai bermekaran.
Kududuk di seberang jalan
menunggu jawaban
dan melihat mahasiswa yang bosan.
Lalu:
Kuminum secangkir kopi
kuhisap sebatang rokok
kukeluarkan asap puisi
untuk bapak pengabdi.
Malam tiba.
Matahari titip pesan pada bulan.
Dan kali ini teriakan itu menusuk dadaku
juga mahasiswa yang bosan menunggu.
Kebosanan itu pun keluar dari mulut mahasiswa yang bosan dan berteriak:
Lawan!
Lawan bukan sekedar kata.
Panjat!
Panjat!
Panjat gerbangnya!
Kebosanan itu pun menjalar ke kaki-kaki
lalu menendang-nendang gerbang yang buta dan tuli.
Kebosanan adalah bulan yang dicuri cahayanya
kemarahan adalah matahari yang membakar kepala.
Di antara itu semua
aku buat lingkaran
aku buka pertunjukan
aku baca puisi untuk kalian.
Lalu kutulis pesan
di atas aspal dengan tinta berwarna hitam
untuk tuan yang ada di gedung persinggahan.
Jakarta, September 2019