Tulisan ini muncul dari kegalauan saya setelah bepergian di akhir pekan ini, di akhir tahun, dimana kemacetan terjadi di daerah saya di Jogja. Saya bingung dimana saya bisa menumpahkan kegalauan saya, dan saya kira menulis adalah sesuatu yang tepat. Saya bukan politikus, ataupun pakar. Saya hanya masyarakat yang mengamati.
Â
Menurut saya, banyak kemacetan, kecelakaan, dan keterlambatan justru terjadi karena ketergesa-gesaan. Ketergesa-gesaan, jalan pintas, dan hasil instan kini serasa telah menjadi budaya bangsa. Sebagai bukti, kemacetan yang ada di sekitar kita justru terjadi di dekat waktu-waktu dimana sebuah agenda atau kegiatan akan dimulai. Seperti waktu masuk kerja, waktu masuk sekolah, dan sebagainya. Begitupula kecelakaan, banyak kecelakaan ditimbulkan akibat ketergesaan atau akibat mengambil jalan pintas yang salah seperti melanggar rambu lalu lintas.
Â
Tentu saja hal diatas tidak luput dari kualitas dan kuantitas infrastruktur yang masih kurang di negeri ini. Namun, juga tidak semata-mata infrastruktur fisik yang kurang di negeri ini, terlebih juga infrastruktur mental dari orang-orang yang ada di negeri ini yang perlu diperbaiki. Di banyak negara maju di Eropa, infrastruktur mental dibangun dengan baik. Dengan apa? Tentu saja dengan pendidikan.
Â
Jika kita berbicara tentang pendidikan di negeri ini, dari segi kualitas maupun kuantitas nya, tentu masih banyak yang perlu di evaluasi. Berbagai pertanyaan muncul. Apakah cukup dengan bersekolah atau pendidikan formal seorang menjadi pintar? Apakah cukup dengan berkuliah seorang menjadi ilmuwan dan mendapatkan perkerjaan? Apakah cukup dengan berpendidikan seorang mendapatkan kekayaan materi? Kita bersama merasakan itu tidak cukup. Banyak koruptor di negeri ini adalah orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Sekali lagi, koruptor adalah orang yang tergesa-gesa, ingin instan dalam mendapatkan kekayaan, bahkan tidak pernah puas dengan kekayaan. Lalu apa?
Â
Saya rasa pemerintah telah memiliki ide yang cukup baik. Pemerintah telah memiliki ide revolusi mental. Tentu saja itu ide yang sangat bagus untuk menjawab pertanyaan pada paragraf sebelumnya. Kita tidak bisa mendapatkan kehidupan yang baik hanya dengan kecerdasan intelektual yang tanpa adab.
Â
Dalam praktik revolusi mental, kita bersama-sama di level masyarakat perlu membiasakan sebuah mentalitas atau budaya baru. Dimulai dari diri kita sendiri dalam mendidik mental kita dan mengajak orang lain untuk bersama-sama mendidik mental mereka. Kadang, saya merasa negara-negara maju di benua Eropa ataupun Amerika tidak menjadi maju karena modal kecerdasan intelektual saja, namun juga dibarengi dengan kecerdasan mental. Bermula dari infrastruktur mental yang baik seperti disiplin, jujur, tertib, dan pada akhirnya terbias pada infrastruktur fisiknya. Infrastruktur fisik sebuah negara adalah representasi dari infastruktur mental orang-orangnya. Apabila infrastruktur mental sebuah negeri masih buruk, maka buruk pula infrastruktur mentalnya. Dapat kita lihat di negeri kita, banyak fenomena mulai dari proyek jalan raya atau jembatan yang tidak kunjung usai akibat dikorupsi bahannya, sampai kepada infrastruktur atau ruang publik yang rusak dan tidak pernah bersih dari sampah.
Â
Semoga revolusi mental bukan hanya sekadar sebagai pemanis pada agenda politik saja, namun jelas praktiknya. Kita sepakat jika revolusi mental atau perbaikan infrastruktur mental membutuhkan support dari seluruh pihak. Di level pemimpin atau pejabat negara, perlu ditampilkan mental politik yang jujur, bersih, adil, disiplin, profesional, dan penuh tanggung jawab. Di level masyarakat, perlu dibudayakan mentalitas positif seperti jujur, disiplin, tertib, dan sebagainya. Dan tentu saja, media juga perlu menampilkan tayangan-tayangan yang mencerdaskan. Media memiliki andil dalam mewujudkan masyarakat yang beradab, yang memiliki kecerdasan mental. Media di Indonesia pun masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Saya masih ingat ketika seorang politikus dan intelektual mengatakan kepada saya, ‘gambaran media di Indonesia saat ini, 10 tahun orang membaca koran atau menonton berita tentang korupsi, tetap saja ia tidak mampu menemukan benang masalah dari korupsi dan menyelesaikan masalah itu.
Â
Akhirnya, mari bersama-sama kita wujudkan masyarakat yang dengan mentalitas yang positif dan beradab. Kita mulai dari diri kita sendiri dan bersama-sama mengajak orang lain.