Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sahabat Terbaik

6 Mei 2014   20:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:48 60 0
"terserah" jawabku.

"aku tahu kamu khawatir ra" ucap enji sore itu.

"sejak kapan aku khawatir hal semacam itu nji? ini hanya hal kecil jika dibandingkan kejadian-kejadian yang menimpaku selama ini"

"aku tahu, tapi irham adalah harapanmu selama ini kan?"

"sejak kapan aku memiliki harapan itu? toh dia yang tidak ingin melanjutkan hubungan ini" jawabku.

"terserah kamu, aku hanya mengingatkanmu sebelum kau kehilangan dia".

enji pergi meninggalkanku. aku tahu gadis itu mempedulikanku. dia khawatir keadaanku semakin buruk. aku memikirkan ucapan enji yang terakhir. benarkah aku siap kehilangan lelaki itu? aku kembali menilik hatiku. berat memang. tapi apa boleh buat. dia yang ingin pergi. dia yang ingin meninggalkanku. mana mungkin aku menghalanginya. dia bosan padaku. dia ingin aku merubah sifatku. katanya aku terlalu kekanak-kanakan dan terlalu bergantung padanya. katanya aku selalu mendahulukan emosiku dibandingkan pikiranku. biarlah. biarlah dia menghilang. toh  bukan hanya kali ini aku kehilangan. sejak kecil aku sudah tidak memiliki ayah. ibuku pun pergi meninggalkanku entah kemana. satu-satunya yang tersisa hanya nenekku. beliaupun sudah di panggil Yang Maha Kuasa satu tahun lalu. ku pikir nasib baik telah meninggalkan dan melupakanku. Terkadang aku ingin menyalahkan Tuhan yang ku anggap tidak adil menentukan nasibku.

pagi ini aku terbangun lebih pagi dari biasanya. setelah melakukan ritual pagiku aku langsung pergi ke dapur untuk membuat sarapan sebelum aku berangkat kerja. aku sudah tak merasakan kalau rumah ini begitu sepi. mungkin aku harus bersyukur melihat karakterku yang tidak suka keramaian. mungkin juga aku harus berterima kasih pada orang yang telah melahirkanku dan meninggalkanku, hingga aku tidak perlu mendengar suara mereka di pagi hari seperti ini. juga, aku tidak perlu khawatir menjadi anak durhaka. aku tersenyum, ini suatu keberuntungan batinku. tiba-tiba hp ku bergetar. ku lihat nama enji terpampang di screen hp-ku.

"ada apa nji?" tanyaku malas-malasan.

"kamu nggak papakan?" tanyannya.

"emang aku kenapa? jangan lebay deh" jawabku.

"ra, berangkat lebih awal ya ke salon"

"ada apa?" tanyaku.

"ngga usah banyak tanya, berangkat aja ya"

"iya" aku menutup telpon darinya.

segera aku ke kamar mandi dan berdandan secukupnya. aku bercermin. melihat wajahku, aku sempat bersyukur. setidaknya orang yang seharusnya ku panggil ibu mewarisiku wajah yang  sama sekali tidak buruk. jika bertemu dengannya mungkin aku harus mengucapkan rasa terima kasih. sesampai di salon, tampak enji telah menungguku di taman deket salon. ia melambai padaku. aku segera menyusulnya ke tempat itu.

"nangis aja!" sembari menyodorkan tissue di depan wajahku.

"untuk apa?" tanyaku sambil melemparkan senyum padanya.

"ra, udah deh lo ngga usah pura-pura kuat. aku muak liat lo kayak gini. kalo mau nangis, nangis aja ngga usah di tahan-tahan!" ucapnya membara.

"terus kalau aku nangis apa mereka akan kembali? apa mereka akan menghapus luka yang ku rasa? siapa juga yang pura-pura kuat? aku hanya berpikir semua itu tidak ada artinya nji. bukan aku yang menyuruh mereka pergi. mereka yang ingin pergi. itu pilihan mereka. kalau lo ingin pergi juga silahkan" ucapku.

"ra, aku tahu lo ngga bisa mengekspresikan perasaan lo tapi setidaknya lo pertahanin apa yang membuatmu bahagia, bukan malah keras kepala dan pura-pura ngga papa" ucap enji jengkel.

"bukannya aku ngga papa nji, aku hanya berpikir meski aku melarang mereka pergi tidak akan ada gunanya, mereka akan tetap pergi meninggalkanku" ucapku berharap enji tidak terlalu khawatir dengan keadaanku.

"terserah lo aja ra, kau memang selalu keras kepala" ucapnya.

"makasih udah peduli padaku" ucapku sambil tersenyum.

enji memelukku. bagiku dia sangat berarti setelah nenekku. dan seorang teman sepertinya lebih berarti daripada mereka yang meninggalkanku. terima kasih kawan, sudah  berada disisiku saat-saat seperti ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun