Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Atas Nama Cinta

27 Mei 2020   18:47 Diperbarui: 27 Mei 2020   18:44 163 1
Ingatannya melayang pada tiga tahun lalu, saat ia dan Sultan kehilangan kontak, Lintang pun harus kehilangan laki-laki yang dicintainya. Ada rasa takut, trauma dan berharap hal serupa tak mengulang kisah yang sama.

Beberapa kali Lintang terpekur dalam diam, waktu terus berganti. Sementara hati Lintang masih terperangkap dalam dualisme yang tak mampu ia perangi. Kemarin Pak Arif sudah menanyakan sejauh mana persiapan serah terima jabatan kepada calon yang akan menggantikan posisinya, juga rencana tanggal keberangkatannya ke Jakarta, tapi Lintang cuma bergeming tanpa sepatah kata.

Jam istirahat siang, Lintang enggan meninggalkan meja kerjanya. Tumpukan laporan menunggu untuk dievaluasi, beberapa berkas harus ditanda-tangani sebelum diajukan pada Pimpinan Cabang.

Lintang menyugar kasar, pikirannya penat. Belum pernah ia begitu tak bersemangat mengerjakan tugas-tugasnya. Lintang membuka email pribadinya, biasanya ia mendapat info menarik tentang film-film baru atau artikel-artikel lucu dari grup.  Membukanya sebentar, akan menurunkan tensi pikirannya yang berkecamuk.

Lintang mengecek satu persatu email yang masuk, tak ada yang menarik minatnya, hingga pandangannya tertujua pada sebuah email yang mengusik rasa penasarannya.

"Remund," gumam Lintang lirih.

Assalamualaikum.

Fur meinen schatz, Lintang. _(untuk yang tersayang, Lintang)_

Kita memang tak pernah tahu, apa yang menjadi rencana-Nya. Sebaik-baik manusia memiliki keinginan, Tuhanlah yang lebih kuasa menentukan. Kemarin kita baru saja bicara soal masa depan , tapi Tuhan juga lebih digdaya mengaburkan asa menjadi nestapa.

Aku pernah mengatakan padamu, bahwa dulu aku selalu membuat murka kedua orang tuaku. Papa meninggal karena stroke, tertekan dengan ulah badungku yang diam-diam meninggalkan bangku kuliah karena lebih memilih belajar menjadi seorang cheef. Sementara minuman keras dan perempuan seolah menjadi karib yang tak terpisahkan.

Setelah papa meninggal, Mama minta pulang ke Indonesia berharap aku berhenti mabuk dan main perempuan.  Lalu mama  menikahkan aku dengan seorang anak sahabatnya yang tak pernah aku cintai. Saat itu egoku selalu memenangkan logika, bahwa perempuan hanyalah objek pelampiasan syahwat. Hingga akhirnya kematian istri dan anakku menghantam bagai tsunami yang memporak porandakan ego dan keras kepalaku.

Aku pernah mengatakan bahwa dulu aku mengira kematian hanya mendekat pada mereka yang lanjut usia, nyatanya setiap saat malaikat maut memperhatikan wajah-wajah manusia di muka bumi bahkan sampai tujuh puluh kali dalam sehari. Dan tak pernah tahu siapa yang ada dalam catatannya. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun