Tiar duduk di bangku plastik yang disediakan sambil menikmati  minuman dalam botol  dan roti isi coklat seharga dua ribu rupiah, makanan sederhana yang  selalu menjadi penyelamat saat kelelahan dalam perjalanan.
"Mau kemana, Mbak?" tanya laki-laki tua itu membuka pembicaraan.
"Eh, ini pak ... mau pulang," jawab Tiar, matanya masih lekat pada wajah laki-laki yang selalu tersenyum itu.
"Bapak udah lama jual minuman gini?" Â
Laki-laki penjual minuman itu tersenyum, lalu mengambil tempat duduk di sebelah perempuan berjilbab pink, tampak repot dengan tongkat penyangganya.
"Saya jualan sudah hampir sepuluh tahun, Mbak. Sejak saya kecelakaan dan keluar dari kedinasan."
"Bapak tentara?"
"Yah, dulunya saya dinas di Angkatan Darat, sebagai pelatih tembak di Pusat Pelatihan Militer." Mata tua yang teduh itu menerawang, ada kabut tipis menyelimuti.
"Di Akmil sini, Pak?" Tiar mengerutkan alis.
"Iya, di Akmil Tidar sini," jawab laki-laki itu sambil melipat kardus-kardus bekas minuman kemasan.
"Sebagai Komandan pelatih tembak, di Akmil Magelang sini, hingga peristiwa itu terjadi. Saya harus kehilangan satu kaki  ketika tidak sengaja terkena mortir nyasar seorang taruna."
"Innalillahi, terus gimana, Pak," kata Tiar menyela prihatin
"Yah, begitulah nasib. Karena tulang kering saya hancur, akhirnya kaki saya harus diamputasi," ujar laki-laki itu, ada nada sedih dalam suaranya. Tiar menghela nafas panjang, turut merasakan kegetiran yang dialami laki-laki pemilik gerobak minuman itu, mendadak rindu pun menyeruak, rindu pada sosok laki-laki perkasa yang telah pergi untuk selamanya.
"Setelah kejadian itu saya mengundurkan diri dari kedinasan, Mbak. Meski komandan awalnya ndak mengizinkan, tapi saya maksa, saya cukup tahu diri, lha wong tentara kok buntung. Kan saya ndak enak toh, seperti makan gaji buta."
"Lalu Bapak jualan seperti ini?"
"Iya, Mbak sebagai pengisi waktu senggang. Kalo malam saya ngajar, ngasih les-les privat untuk anak-anak tetangga yang membutuhkan tambahan ilmu."
"Wow, keren itu, Pak," ucap Tiar takjub. "Bapak mengajar apa?"
"Macam-macam yang saya bisa, Mbak. Biasanya Kimia, Fisika, Matematika, saya memang bukan ahlinya, tapi ya... kalo cuma mata pelajaran anak SMA Insya Allah saya masih menguasainya."
Tiar manggut-manggut, hatinya kagum, laki-laki yang masih tampak gagah itu seperti tak mengenal kata sedih, senyumnya selalu merekah, dan matanya tetap berbinar menyorotkan harapan yang tinggi.
"Mbak ini namanya siapa?" tanya Laki-laki itu lagi.
 "Tiar, Pak.  Nama saya Tiara."
 "Oh, kalau Mbak Tiar ini mau kemana dan dari mana?"
Tiar tersenyum kecil mendengar pertanyaan laki-laki penjual minuman  sambil meneguk habis minumannya.
"Saya mau pulang, saya tinggal di Bayeman. Saya ini penulis, Pak. Saya tidak punya tujuan yang pasti, tergantung hati mau kemana melangkah, Â saya suka berkelana naik motor, untuk mencari ide dan mempelajari bagaimana arti kehidupan, terkadang jika menemukan cerita menarik di perjalanan, saya tuangkan dalam sebuah tulisan.
"Bapak rumahnya jauh dari sini?" Tiar merasa menemukan bahan yang menarik dari kisah hidup si Bapak, ia sedang  berusaha mendapatkan pelajaran hidup dari laki-laki mantan komandan latih tembak tersebut.
"Rumah saya ndak jauh, Mbak. Di gang depan situ," ujar laki-laki itu. "Kebetulan hari ini saya mau pulang cepat, ndak tau ini kok badan rasanya pegel semua," keluh laki-laki itu.
"Bapak mau tutup sekarang?" Tiar bertanya antusias.
"Iya, maaf ya, Mbak, Â hari ini saya harus tutup cepat," sesal laki-laki itu
 "Oh, iya pak, nggak apa-apa," ujar perempuan itu, menyodorkan selembar sepuluh ribuan. "Kembaliannya buat Bapak, mari saya bantu, Pak."
Berdua mereka menurunkan terpal penutup gerobak, mengikat ke empat ujung terpal pada lobang yang terletak pada ke empat sisi gerobak, lalu mendorong mundur agar tidak terlalu menjorok ke jalan. Ketika semua sudah rapi, Tiar menawarkan diri mengantarnya, entah kenapa hatinya ingin tahu lebih banyak tentang laki-laki berkaki satu itu.
"Wah, saya kok jadi ngerepoti Mbak Tiar ini, saya jadi ndak enak." ucap laki-laki itu sungkan. Tiar tertawa memperlihatkan deretan giginya.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya senang boleh mengantar Bapak pulang, supaya kapan-kapan bisa main ke rumah Bapak. Boleh kan, Pak?"
"Oow, iya ... iya, monggo. Tapi rumah saya kecil dan jelek," ujar laki-laki itu merendah, Tiar tertawa lagi.
Sepanjang perjalanan yang hanya memakan waktu lima belas menit, laki-laki yang nampak sabar itu bercerita bahwa ia  harus bangun setiap jam 3 pagi untuk menyiapkan dagangan, mengecek persediaan barang yang habis, lalu berangkat ke pasar untuk melengkapi barang dagangan. Kemudian pulang menyiapkan makanan untuk anak perempuan satu-satunya. Barulah berangkat untuk berdagang dan pulang menjelang magrib. Setelah itu dilanjutkan dengan memberikan les tambahan di rumah
Tak hentinya laki-laki tua itu mengucapkan terima kasih, ketika kami tiba di depan sebuah rumah dengan bangunan sederhana, meski catnya sudah memudar, tapi masih tampak asri dengan ornamen minimalis yang cantik.
Seorang perempuan berumur sekitar delapan belas tahun duduk di dipan kayu, dari wajah pucatnya ia berusaha memberikan senyum manis untuk ayahnya yang baru saja datang. Laki-laki itu mengelus rambut anaknya yang dipotong pendek seperti rambut laki-laki.
"Namanya Binar, Â satu-satunya anak saya." Laki-laki yang mengenalkan diri bernama Joko itu menjelaskan.
"Binar menderita Leukemia, banyak pengobatan yang sudah dijalani, termasuk transplantasi sumsum tulang belakang, kemoterapi, dan lain sebagainya, tapi ndak semuanya bisa membantu, karena penyakitnya sangat sulit untuk disembuhkan. Juga karena kondisi ekonomi akhirnya Binar terpaksa harus dirawat seadanya." Laki-laki itu mengembuskan nafas berat. "Namun, bapak ndak mau menyerah, bapak akan berjuang untuk kesembuhannya, meski harus bekerja siang dan malam."
Tiar merasa hatinya teriris pilu mendengar cerita laki-laki penjual minuman yang tak sedikit pun menampakkan gurat kelelahan. Sambil memandang putri tercintanya, Pak Joko melanjutkan cerita.
"Sebenarnya saya pernah menyerah, apalagi ketika ibunya Binar meninggal setahun yang lalu, Â Binar juga seperti sudah kehilangan harapan hidup. Tapi guru dan teman-temannya selalu memberi motivasi, mendorong untuk tidak menyerah, karena Binar anak yang cerdas. Alhamdulillah tahun ini ia lulus dengan nilai memuaskan. Bahkan Binar terpilih sebagai penerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN."
Â
"Alhamdulillah." Perempuan bermata bulat itu ternganga, matanya menatap tak berkedip, bibirnya bergetar, hatinya berdesir dipenuhi rasa haru dan takjub sekaligus. Gadis bernama Binar itu juga tengah menatapnya ramah, sorotnya bersahabat. Tiar menghambur ke arah perempuan bertubuh kurus itu, meraih tangannya dan mencium, buliran bening tak sanggup ditahannya.
"Masya Allah, kamu hebat, Sayang," ujar Tiar bergetar, tangannya terjulur pada wajah gadis cantik bermata indah itu, jemarinya menelusuri setiap lekuk wajah pucat Binar.
"Bahkan guru-gurunya sering mengirimkan motivasi-motivasi daring tentang perjuangan penderita kanker yang berhasil sembuh, memberi semangat dan harapan untuk terus berjuang. Karena sejatinya umur adalah hak yang kuasa, tapi pantang bagi kita untuk menyerah. Hingga membuat Binar kembali semangat, menjalani pendidikan meski dalam kondisi kritis, bahkan 3 bulan yang lalu, Binar berhasil mengkhatamkan hafalan Al Qurannya 30 juz dan menerima penghargaan dari sekolah sebagai Hafidzah terbaik."
"Masya Allah, tabarakallah." Tiar menyebut asma Allah dengan bibir bergetar takjub.
Di balik kisah pilu yang dialami Binar, Â tersimpan juga kisah bahagia di dalamnya, yang mengajarkan bahwa harapan itu selalu ada selama kita tidak menyerah, tugas kita adalah menjaga harapan itu tetap tumbuh dan menyingkirkan segala keinginan untuk berhenti melangkah, hingga memiliki kekuatan untuk melawan kemustahilan.
Banyak pelajaran berharga yang Tiar petik dari perjuangan Binar, seorang gadis penderita Leukemia, yang tak mau menyerah, dan bagaimana seorang mantan tentara yang kehilangan satu kaki harus bertahan di tengah kerasnya kehidupan untuk hidup dan biaya pengobatan anak perempuan satu-satunya.
Tiar belum pernah sebahagia ini, bahkan ketika mengetahui perempuan penulis itu adalah seorang pengelana, Binar meminta untuk menceritakan tentang  perjalanannya, seperti apa kejadian di luar sana.
Hari mulai berangkat senja, Tiar masih asyik berkisah tentang laki-laki gila yang mencari kekasihnya, pertemuannya dengan seorang perempuan cantik yang difitnah sebagai pembawa sial, juga tentang kisah sekelompok anak muda berprestasi yang justru dianggap aneh oleh sebagian orang, karena apa yang mereka lakukan berseberangan dengan kebiasaan di daerah tersebut.
Wajah Binar bersuka cita, mata indahnya menyorotkan bahagia, setengah memicing ia menggenggam tangan Tiar.
"Makasih ya, Mbak, sudah membuat Binar bahagia," ucapnya berbisik.
"Bahagia itu kita yang menciptakan, bukan orang lain, karena bahagia itu ada di sini." Tiar mengarahkan telunjuknya ke dada perempuan berwajah pucat itu.
"Mbak." Binar menatap Tiar lekat. "Doain aku bisa berjuang sampai lulus, ya." Â
"Kamu milih jurusan apa?" Tiar bertanya sambil tersenyum.
"Pendidikan guru," jawab gadis berambut pendek, sepertinya efek kemoterapi telah membuat rambutnya rontok.
"Cita-cita yang bagus," puji Tiar. Mata gadis itu berbinar, kembali diraihnya tangan Tiar.
"Jika memang Allah mengizinkan aku hidup lebih lama lagi, aku ingin menjadi guru, Mbak. Supaya di sisa umurku yang entah Allah izinkan sampai kapan, aku bisa berbuat yang manfaat untuk orang lain, aku juga ingin mengajarkan hafalan Al Quran untuk anak-anak, agar semakin banyak anak-anak yang menyiapkan jubah-jubah indah untuk kedua orang tuanya di padang mahsyar nanti." Binar kembali  memicingkan mata, seolah sedang merangkai banyak harapan dan doa. Tiar meraih kepala gadis bertubuh kurus itu, hatinya tersentuh.
"Hatimu sungguh mulia, Sayang. Semoga Allah mudahkan jalanmu untuk meraih mimpi dan harapanmu."
Di balik pintu, seorang laki-laki berkaki satu berdiri bertopang pada tongkat penyangga tubuhnya, hatinya trenyuh ... hari ini adalah hadiah indah dari sang pencipta. Bertemu perempuan muda penuh dedikasi yang berhati tulus, Binar tampak bahagia bersama Tiar. Kisah perjalanan penulis itu sekali lagi telah menginspirasi semangat anak gadisnya, membangkitkan harapan-harapan dan mimpinya. Tak peduli seberapa lemahnya raga, tapi jika di hati masih tersemat harapan, maka tidak ada yang tidak mungkin untuk mewujudkannya. Laki-laki itu perlahan menyusut air matanya, ya ... harapan itu akan selalu ada, hanya manusialah yang sering kehilangan semangat untuk mewujudkan harapannya. Mulai saat ini, laki-laki itu bertekad akan bekerja lebih giat lagi untuk mewujudkan harapan putri tercintanya.
Sidoarjo, 16 Januari 2022