Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Perlukah Memotong Penghasilan ASN untuk Membantu Mengatasi Pandemi Covid-19?

27 Agustus 2021   16:11 Diperbarui: 27 Agustus 2021   17:05 189 1
Malang - Perpanjangan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 di kawasan Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Malang) mungkin saja membuat publik di kawasan tersebut sedikit kecewa. Berbeda dengan tetangganya yakni wilayah aglomerasi Surabaya Raya yang sudah turun gradasi ke level 3, kawasan Malang Raya justru masih tertancap pada level 4 agar penyebaran Covid-19 tidak begitu meluas.

Kekecewaan yang sama, bisa saja dialami oleh para Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Malang. Sebab, pada bulan Agustus ini para ASN diminta untuk memberikan sumbangan secara "sukarela" sebesar 15 persen dari Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) yang dibayarkan tiap bulan.

Berdasarkan beberapa berita yang termuat di media massa, Ketua DPRD Kota Malang, I Made Rian Diana Kartika dengan tegas menolak rencana Pemerintah Kota Malang tersebut. Sedikitnya ada dua alasan besar. Pertama, dasar hukum sumbangan "sukarela" tersebut dan kedua adalah bentuk pertanggung jawaban anggaran tersebut.

Beredar kabar, bahwa sumbangan "sukarela" tersebut nantinya akan digunakan untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi. Beberapa program pemerintah yang belum berjalan karena anggaran yang kurang, nantinya akan diambilkan dari uang sumbangan tersebut.

Meski ada niat baik di balik sumbangan secara "sukarela" itu, namun para wakil rakyat di DPRD Kota Malang tidak sepakat dengan ide tersebut. Anggota DPRD optimis jika Pemerintah Kota Malang bisa maksimal mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan melakukan berbagai efisiensi anggaran bisa saja sumbangan secara "sukarela" itu tidak dilakukan.

Berdasarkan beberapa sumber informasi yang diterima penulis, sumbangan "sukarela" itu dilakukan dengan mekanisme semacam ini; para ASN yang TPP nya berada di kelas 7 sampai 9 (termasuk juga para staf), akan dikenai sumbangan sukarela sebesar 15 persen. TPP ditransfer secara penuh ke rekening ASN dan setelah itu diminta menyerahkan sebesar 15 persen dari TPP itu kepada bendahara atau koordinator di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) masing masing. Bagi ASN yang TPP berada pada kelas di bawah 7, bisa juga berpartisipasi dengan mekanisme seperti yang disebutkan di atas.

Tentu saja, mekanisme semacam ini menimbulkan berbagai pertanyaan, sehingga kata "Sukarela" menjadi pertanyaan para wakil rakyat dan atau bahkan ASN itu sendiri. Penulis sengaja membubuhkan tanda kutip dalam kata sukarela karena beberapa hal. Pertama, jika merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka sukarela artinya adalah  1. dengan kemauan sendiri; 2. atas kehendak sendiri (tidak karena diwajibkan). sehingga menurut penulis sukarela adalah kondisi dimana seseorang dengan rela hati (dalam kasus ini) menyisihkan pendapatannya untuk membantu pemerintah.

Syarat dengan rela hati yang bersifat subjektif dalam kalimat sukarela itulah yang kini sedang jadi pertanyaan publik terkait dengan wacana sumbangan ASN yang dipotong dari TPP.  Apakah betul semua ASN yang TPP nya berada pada kelas 7 sampai 9 di Kota Malang itu sukarela atau bahkan ada yang menolak dengan tidak menyumbang? Lantas bagaimana dengan ASN yang tidak mau ikut menyumbang apakah ada sanksi dari lembaga atau OPD tempat dimana dia bekerja?

Penulis tidak menampik ada niat baik di balik sumbangan "sukarela" tersebut. Tujuannya memang jelas untuk membantu masyarakat yang terdampak Pandemi Covid-19. Bantuannya bisa bermacam cara dari memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), obat obatan dan makanan, penyediaan tabung oksigen dan juga menggerakkan ekonomi masyarakat. Namun, niat baik saja tidak cukup, apalagi berkaitan dengan uang publik, maka pertanggung jawabannya juga harus jelas dan transparan. Kondisi ini sama misalnya dengan kelompok atau organisasi tertentu yang turun ke jalan untuk menjaring dana bantuan. Secara substantif sama.

Namun yang dipertanyakan oleh DPRD Kota Malang adalah aturan hukum sebagai dasar dari permintaan sumbangan tersebut kepada ASN. Karena sudah melibatkan hak individu dalam satu organisasi pemerintah, bisa saja wali kota mengeluarkam semacam instruksi atau peraturan wali kota untuk merealisasi tersebut. Namun sayangnya, jika keluar instruksi atau peraturan wali kota maka sifatnya menjadi wajib dan tidak bisa lagi diberi embel embel sukarela. Atau logika ini bisa dibalik, mewajibkan ASN menyumbang 15 persen dari TPP tanpa mengeluarkan aturan hukum dan lalu dilabeli kata "sukarela". Asumsi  semacam itu bisa saja muncul manakala memang tidak aturan hukum yang mengikat.

Hal lain yang jadi polemik adalah, ketika uang sudah terkumpul. Lalu di sektor pemerintahan uang ini masuk bagian mana? Jelas karena ia bukan termasuk dari unsur pendapatan daerah, maka tidak bisa dimasukkan ke dalam APBD Kota Malang. Justru, ruang yang memungkinkan uang sumbangan tersebut bisa masuk kepada Badan Amal Zakat Nasional (Baznas) Kota Malang, sebagaimana program "jimpitan" yakni sumbangan Rp 1000 perhari oleh ASN yang sudah digalakkan oleh Wali Kota Malang.  Atas dasar keterbukaan inilah maka, bisa saja DPRD menolak wacana tersebut karena pelaporannya tidak bisa diakses besaran dan kegunaan anggarannya untuk apa saja.

Lebih dari itu, penulis justru khawatir ada pembelahan opini di masyarakat. Katakanlah para ASN menolak sumbangan "sukarela" itu dan lalu informasinya sampai ke telinga masyarakat. Akan ada semacam pelabelan dari masyarakat jika ASN tidak mau berbagi kepada masyarakat yang kurang mampu. ASN yang selama ini dikenal memiliki gaji bulanan yang pasti justru menolak berbagi dengan masyarakat yang penghasilannya fluktuatif tiap bulan. Bahkan ada juga kalangan masyarakat yang kerja hari ini untuk makan hari ini.

Justru pada momen seperti ini "gorengan" informasi seperti ini bisa saja mudah diterima masyarakat yang sedang dalam kondisi tidak secara ekonomi. Artinya, jika ASN menolak sumbangan tersebut maka yang dikhawatirkan adalah dampak secara sosial. Padahal, ASN juga sama seperti masyarakat pada umumnya. Seperti diungkapkan oleh Anggota Komisi B DPRD Kota Malang, Arif Wahyudi dalam sebuah wawancara, para ASN gajinya sudah habis untuk keperluan membayar hutang, sehingga rata rata mengandalkan dari TPP untuk biaya hidup mereka selama satu bulan.

Artinya, pemotongan secara "sukarela" dengan besaran presentase yang sudah ditentukan menurut pendapat para wakil rakyat di DPRD Kota Malang merupakan gagasan yang kurang bijak. Apalagi ASN bukan saja mereka yang bekerja di kantoran, melainkan para guru dan tenaga kesehatan yang sama sama mencari mafkah untuk makan keluarganya.

Pada akhirnya, penulis ingat apa yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang mengimbau kepada seluruh ASN untuk belanja di warung tetangga, UMKM dan juga PKL. Kebijakan ini mirip pada era Presiden Abdurrahman Wahid pada saat krisis ekonomi. Kala itu, Menteri Rizal Ramli menggelontorkan banyak tambahan dana kepada ASN agar mereka bisa berbelanja dan menghidupkan kembali roda perekonomian. Jika memang kebijakan tersebut efektif untuk menggairahkan kembali sektor perekonomian, lantas apakah efektif juga pemotongan TPP ASN untuk membantu mengatasi Pandemi Covid-19?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun