Versi "biasa" Sepatu Air Jordan 1 ini dijual di pasaran dengan harga terendah Rp 2,5 juta. Lantas apa yang membuat sepatu ini begitu mahal? Meski saya tidak mendalami secara detil, namun ada hal yang begitu kuat dalam merk sepatu yang sebut itu, yakni bangunan narasi mulai dari sejarah hingga kisah sepatu tersebut sangat melegenda, sehingga membuat harga-nya selangit.
Meski dipromosikan dengan narasi yang sangat kuat, namun model sepatu itu tidak mengecewakan. Sangat indah dan bentuknya luar biasa. Artinya, dua kombinasi antara narasi dan hasil kreasi sepatu membentuk produk yang begitu indah dan memiliki cerita yang kuat.
Narasi panjang ala "marketing" Air Jordan 1 ini semacam menjadi pakem untuk mempromosikan segala hal termasuk juga proyek pemerintahan. Bangunan narasi kuat, dilakukan untuk mengambil legitimasi publik namun juga harus diimbangi dengan produk atau hasil yang sepadan.
Bangunan narasi yang kuat juga kadang dilakukan di dunia sepakbola. Berbanding terbalik dengan kesuksesan Air Jordan 1, beberapa transfer pemain sepak bola dengan harga mahal yang digadang-gadang bisa mendongkrak kinerja tim, nyatanya malah berbuah sebaliknya.
Penulis sedikitnya mencatat dua nama yakni saat transfer pemain Eden Hazard ke Real Madrid dan juga Antonie Griezmann ke Barcelona. Dua pemain bintang ini pada saat kepindahannya dari klub sebelumnya dibangun dengan narasi yang sangat istimewa.
Antonie Griezmann misalnya, ia diharapkan bisa bekerja sama dengan baik bersama Lionel Messi di lini depan untuk mengobrak abrik pertahanan lawan. Performa istimewa Griezmann di Atletico Madrid diharapkan mampu bisa ditransformasikan di Klub Catalan dengan aksi gaya khasnya. Namun apa daya, bangunan narasi dan hasil yang ada tidak sesuai dengan realita. Gaya permainan Griezmann justru dianggap tidak cocok dengan pola permainan Lionel Messi sehingga pemain asal Perancis itu kerap menonton bola dari bangku cadangan.
Lebih parah dari Griezmann adalah Eden Hazard. Pemain ini memiliki gaya bermain bola yang cukup baik saat membela Chelsea. Itulah yang membuat pihak manajemen Real Madrid merasa Hazard adalah sosok yang cocok mengisi skuad Los Galacticos, apalagi kondisi Real Madrid kala itu usai ditinggal Cristiano Ronaldo yang hengkang ke Juventus.
Narasi panjang dimainkan untuk menciptakan legitimasi publik bahwa Hazard adalah pemain yang mampu mendongkrak pola permainan tim. Namun apa daya hasilnya sangat "nggletek" (Nggletek adalah bahasa Jawa yang artinya diluar ekspektasi). Ditransfer dengan biaya mahal dari Chelsea ke Real Madrid, Hazard hanya mencetak tidak lebih dari 15 gol selama satu musim, dan bahkan ia kerap cidera dan jarang merumput bersama Sergio Ramos dkk. Bahkan, saking lamanya berada di pinggir lapangan hijau, berat badan Hazard bertambah, sehingga kurang ideal untuk membela tim yang diasuh Zinedine Zidane itu.
Dua contoh terakhir, penulis sertakan sebagai bukti bahwa tak semuanya narasi yang dibangun dengan begitu indah bisa meyakinkan publik begitu saja jika hasilnya tidak begitu istimewa atau di luar ekspektasi yang ada di benak masyarakat. Paling dekat untuk menjadi contoh kasus ini adalah pembangunan Kajoe Tangan Heritage di Kota Malang yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang bekerjasama dengan Pemerintah Pusat belakangan ini.
Rencananya, berdasarkan bangunan narasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang, Kajoe Tangan Herritage ini bakal disulap layaknya salah satu kawasan ikonik yang ada di Jogjakarta karena dinilai memiliki kesamaan karakter. Sepanjang jalan mulai dari Pertigaan Jalan Jaksa Agung Suprapto yang memiliki bundaran ikonik hingga Jalan Basuki Rahmat akan disulap layaknya salah satu kawasan di Jogjakarta.
Kajoe Tangan Herritage juga dinarasikan dengan penuh pengharapan agar wisatawan bisa mampir ke Kota Malang dan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) jika Pandemi Covid - 19 mereda.
Narasi panjang yang meyakinkan publik Kota Malang akan legendarisnya kawasan Kajoe Tangan ini dimulai dari Festival Kajoe Tangan Heritage yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang pada tahun lalu. Masih ingat di benak penulis, kala itu Wali Kota Malang, Sutiani mendeklarasikan kawasan Kajoe Tangan sebagai pusat Herritage di Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang).
Memang, masih ada banyak bangunan di kawasan Kajoe Tangan yang merupakan peninggalan kolonial, sehingga klaim sebagai pusat Herritage di Malang Raya bisa saja dilakukan oleh Kota Malang. Akan tetapi, Pemerintah Kota Malang dari sudut pandang subjektif penulis masih kurang konsisten dalam hal ini.