Dito tinggal di sebuah rumah reyot, atapnya bocor dan dindingnya hampir ambruk. Ia tidak pernah merasa malu akan keadaan itu. Baginya, yang terpenting adalah dapat bertahan hidup, meskipun dengan cara yang sederhana. Namun, di balik ketegaran wajahnya, ada banyak hal yang tidak tampak oleh orang lain: kesedihan yang dalam, harapan yang semakin memudar, dan mimpi yang mulai terlupakan.
Suatu pagi, ketika Dito berjalan menuju kebun milik Pak Ismail, pemilik tanah yang memberinya pekerjaan, ia melihat seorang anak kecil berdiri di ujung jalan dengan wajah pucat. Anaknya, pikir Dito. Namun, dia cepat menyadari bahwa itu bukan anaknya. Anak itu tampak kebingungan, matanya menatap kosong ke arah jalan yang panjang.
Dito mendekat. "Nak, kamu kenapa? Kenapa di sini sendirian?"
Anak itu menoleh, kemudian terdiam beberapa detik. "Aku... aku nggak punya rumah, om."
Dito terkejut. "Maksud kamu nggak punya rumah? Di mana orang tuamu?"
Anak itu menggigit bibir, seolah enggan bercerita, lalu dengan pelan ia berkata, "Ibu... ibu sakit. Ayah... sudah pergi. Aku nggak tahu harus kemana."
Dito merasa hatinya teriris mendengar cerita itu. Ia menatap anak itu lebih dalam. Mata anak itu penuh kepasrahan, seolah ia telah kehilangan semua harapan. Dito yang tak punya banyak harta, merasa seolah dunia ini semakin menekan. Tapi entah kenapa, ada rasa yang sulit dijelaskan mengalir dalam hatinya.
Dengan suara yang hampir tak terdengar, Dito berkata, "Kalau kamu mau, ikut aku. Aku nggak banyak, tapi aku punya tempat untuk kamu berteduh."
Anak itu hanya mengangguk. Mungkin ia sudah begitu lelah dengan hidupnya, dan tawaran Dito menjadi satu-satunya jalan yang tersisa. Mereka berjalan perlahan kembali menuju rumah Dito, melewati jalan setapak yang penuh debu dan ilalang.