Oleh MUCH. KHOIRI
Berbagi dan berdiskusi dengan orang-orang yang memang bertekad menjadi penulis, sungguh sederhana. Ibarat membakar ranting, kita tinggal menyulut sebagian saja—dan keseluruhan bagian akan terbakar dan membara. Setelah membara, tinggal mau diapakan—dibiarkan percuma atau digunakan untuk membakar satai misalnya.
Itulah yang saya alami di hari Minggu (12/1) yang indah ini. Saya berbagi materi menulis nonfiksi kepada para penulis muda dari Forum Lingkar Pena (FLP) Surabaya. Tempatnya di Rumca Az-Zahra Telkom Ketintang Surabaya. Cukup duduk lesehan di lantai, persis orang mengaji di pondok salafiyah, kegiatan sharing berlangsung nyaman.
Pesertanya, memang, tidak mencapai puluhan. Namun, justru dengan jumlah peserta terbatas, kesempatan berbagi tidaklah terbatas. Hana Lina, Retno Fitriyanti, Putri Anggraeni, Baim, dan kawan-kawan adalah teman berbagi yang hangat dan mudah tersulut dan terbakar semangatnya. Saya yakin, jika mereka serius, kelak mereka akan menjadi penulis yang membanggakan.
Sejatinya kali ini saya didapuk untuk berbagi tentang menulis karya nonfiksi. Namun, saya tegaskan, manulis nonfiksi atau fiksi itu hanya masalah bentuk pengucapan. Bentuk pengucapan berarti lebih banyak masalah teknis—dan itu “lebih sederhana” dibandingkan hal yang lebih mendasar. Saya tegaskan hal ini lebih dari sekali.
Apakah itu? Itulah sikap sebagai penulis. Bahwa penulis harus tegas alasannya (termasuk membuat slogan “Menulis itu Wajib” misalnya), bahwa penulis harus banyak membaca, bahwa penulis harus membuat catatan, bahwa penulis harus selalu menulis dan terus menulis—semua ini penting dan dilekatkan di dalam hati dan pikiran. Belajar menjadi penulis harus memulainya dengan sikap yang benar sebagai penulis.
Jika sikap semacam itu bisa tumbuh mengakar di dalam diri, hal-hal teknis akan bisa dipelajari, didalami, dan dikembangkan secara optimal. Sikap semacam itu bisa diibaratkan motor penggeraknya; sementara keterampilan teknis itu pelaksananya. Kendati kedua-duanya penting, motor penggerak tentunya akan tepat diposisikan di urutan pertama.
Secara sederhana, berikut ilustrasinya. Jika ada kotak berisi kue di atas meja, di depan kita; kita bisa membuat tulisan fiksi maupun nonfiksi. Ini bergantung bagaimana kita melihatnya. Kotak kue itu mungkin bisa menjadi sebuah cerpen atau puisi jika kita memang ingin mengemasnya ke dalam tulisan fiksi. Sebaliknya, ia juga bisa menjadi artikel menarik jika kita ingin mengemasnya ke dalam tulisan nonfiksi.
Jika seseorang penulis telah memiliki sikap mendasar sebagai penulis di atas, tidak masalah bagi dia untuk menulis tulisan jenis apa—fiksi maupun nonfiksi. Itu bergantung selera dan spesifikasi keterampilan menulis yang dikembangkan. Terlebih bagi penulis yang menguasai keterampilan menulis fiksi dan nonfiksi, berpindah atau berganti jenis tulisan adalah hal biasa.
Karena itu, di depan teman-teman penulis FLP Surabaya, saya lebih senang berbagi hal mendasar di atas. Untuk teknis menulis nonfiksi, saya hanya mengajak mereka berbagi dengan menggunakan media buku dan surat kabar—dan memperkenalkan blok-blok publik, semisal kompasiana. Mereka saya ajak untuk “membaca” contoh nyata untuk secara induktif menarik pelajaran darinya.
Dua jenis nonfiksi yang kami cermati adalah artikel dan feature. Dengan sedikit penjelasan saja, pertanyaan sudah bermunculan. Maklum, sebagai penulis muda, mereka mudah disulut dan dibakar. Tentang artikel (dengan orientasi termuat di surat kabar), mereka menanyakan bentuknya seperti apa, berapa panjangnya, apa saja yang seharusnya ditulis, bagaimana pengirimannya, berapa honornya, dan sebagainya.
Demikian pula tentang feature. Hakikatnya, mereka juga menanyakan bentuknya seperti apa, berapa panjangnya, apa saja yang seharusnya ditulis, bagaimana pengirimannya, berapa honornya, dan sebagainya. Mau tak mau, hal-hal semacam ini juga mengganggu benak penulis muda.
Alangkah senangnya berbagi dengan mereka. Saya hanya perlu membuka dua buah surat kabar sebagai contoh dan mengharapkan mereka untuk membelinya, kemudian mempelajari artikel-artikel atau feature yang ada. “Mohon kenali, dalami, dan kembangkan ide sendiri.” Saya kemudian menambahkan informasi-informasi terkait dengan artikel atau feature itu—apa yang bagus ditulis, teknis pengiriman, jumlah honor, dan sebagainya.
Di akhir pertemuan, saya menutup sharing dengan pesan khusus. “Teman-teman, selamat belajar dan terus belajar—juga selamat menulis dan terus menulis. Saya tunggu tulisan teman-teman. Insyaalah saya siap membaca dan memberi masukan terhadap kiriman tulisan teman-teman yang masuk ke email saya.”
Surabaya, 12-1-2014