Oleh MUCH. KHOIRI
Saya sudah tiba kembali di rumah, berkumpul dengan keluarga. Namun, memori Lombok the Paradise Island terus mempesona dan melenakan. Banyak kisah dan pemandangan mengesankan yang membuat hati saya tertambat kuat di Lombok—dengan segala keeksotikannya.
Sebagaimana orang yang terpikat saat jatuh cinta, saya benar-benar merasa Lombok sangatlah mempesona. Saya pernah mengunjungi sejumlah tempat wisata atau kekayaan budaya di negeri ini, terutama di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, atau Bali; namun apa yang ditawarkan Lombok benar-benar beda. Ibarat gadis, Lombok itu gadis eksotik, yang meneduhkan jiwa.
Orang boleh tidak setuju dengan pendapat saya. Ini negeri demokratis; dan berbeda pendapat itu penting untuk membuat siapapun yang berbeda pendapat sama-sama dihargai. Untuk Lombok, saya mencatat bahwa ia eksotik, sejuk oleh pepohonan, dan ngangeni (membuat rindu). Sangat personal, bukan?
Saya berencana akan ke sana kembali—bukan hanya sendiri, melainkan dengan keluarga. Terlalu sering saya meninggalkan keluarga tatkala saya bertugas ke luar kota (ke luar pulau) dan menikmati wisatanya. Pada liburan depan saya akan mengajak keluarga untuk sekitar dua pekan tinggal dan menikmati Lombok sepuas-puasnya.
Jika kali ini saya dan teman-teman sudah mengunjungi 3 Gili (Trawangan, Meno, Air 18 km). Ke depan saya dan keluarga akan menikmati juga (dari Senggigi) Pantai Malimbu (10 km), Kosaido (30 km), Air Terjun Sendang Gile (84 km), Pusuk Pass (30 km), Gunung Rinjani (88), dan Desa Senaru (88 km). Kami akan upayakan untuk tuntas menjelajahinya.
Kata orang, Air Terjun Sendang Gile begitu mengesankan. Merasakan beningnya air pastilah amat menyegarkan. Tak ketinggalan adalah Gunung Rinjani. Saya jadi teringat seorang teman penulis, Etik Andriani, yang cerpennya “Ujung Rinjani” saya (sebagai editor) masukkan ke dalam kumpulan cerpen Ndoro, Saya Ingin Bicara (2011). Desa Senaru, pintu masuk ke gunung Rinjani, tampaknya tak boleh dilewatkan.
Sementara itu, yang arah tenggara, selain yang sudah kami kunjungi kali ini—Desa Sukarara, Desa Sade, dan Tanjung A’an—kami juga ingin mengunjungi Pelabuhan Lembar dan Sekotong (Gili Nanggu). O ya, daerah perajin gerabah (pottery), Desa Banyumulek, ini desa yang hanya 25 km dari Senggigi—namun belum sempat kami kunjungi kali ini; jadi ia wajib disapa pada kunjungan selanjutnya.
Keluarga saya suka berziarah. Karena itu, yang tak mungkin saya abaikan adalah berziarah ke makam Raja Selaparang. Tempatnya memang jauh di ujung timur, sementara Senggigi di ujung Barat, namun rasa penasaran ini begitu menggebu. Kata orang bijak, jika niat sudah bulat, lautan pun bisa diseberangi dan gunung pun akan didaki.
Untuk semua itu, saya perlu membuat rencana yang matang. Waktu dua minggu tampaknya akan cukup untuk mewadahi kegiatan wisata dan penelusuran jejak budaya secara terencana. Harus disetel waktu yang paling memungkinkan, yakni pas liburan dari tugas-tugas kantor. Sementara itu, dana untuk semua itu mutlak perlu disiapkan—alias menabung!
Saya juga akan melakukan rekaman-rekaman terhadap praktik-praktik budaya yang dijalani atau dilestarikan masyarakat Lombok pada umumnya dan keturunan etnis Sasak pada khususnya. Terjadinya reproduksi kebudayaan di dalam masyarakat, pastilah sangat menarik untuk dikaji dan dikembangkan. Kalau beruntung, ini bisa menjadi bahan awal untuk penelitian ilmiah yang menarik untuk dibukukan.
Tentu saja, saya tidak akan membuang pengeluaran dengan cuma-cuma. Waktu, tenaga, dan biaya haruslah membuahkan hasil. Apakah itu? Buku! Ya, jika saya dan keluarga ke Lombok tahun depan, saya akan manfaatkan untuk menyusun buku. Jika bukan buku tentang catatan budaya Lombok, pastilah buku tentang isu lain yang masih terkait dengan pulau eksotik ini—termasuk, misalnya, perkembangan religi-religi di sana yang asal-muasalnya dari berbagai daerah luar Lombok.
Hari ini, jam ini, menit ini, dan detik ini, saya ingin meneguhkan hati untuk mewujudkan impian saya tersebut. Saya harus membawa keluarga untuk bersilaturahim budaya ke sana. Keluarga saya ajak untuk memahami betapa beragamnya produk-produk budaya di negeri—untuk menimbulkan sikap saling memahami, menghargai, dan menoleransi berbagai perbedaan—serta bisa hidup berdampingan dengan semuanya.
Maka, Lombok, panggillah saya dari istanamu. Biarlah saya luangkan waktu untuk menyimak panggilan itu. Segera saya catat tebal di buku harian saya, bahwa suatu saat kita akan bersua. Jika suatu saat kita bisa bersua dan bermesra, adakah kegiatan lain yang lebih indah dari itu? Duh, Lombok, hati saya benar-benar tertambat padamu. ***
Copyrights @ much.khoiri, 2014.