“Nak, sekolah yang bener ya! Yang rajin, biar nilainya bagus.” “Biar apa, bu?” anak delapan tahun yang baru dududk di kelas tiga Sekolah Dasar itu menyahut. “Biar punya uang banyak. Biar sejahtera hidupmu kelak.” Ibu itu mengangguk. “Kalau begitu nilaiku harus bagus biar punya uang banyak, ya?”. Ibu itu tersenyum lalu meninggalkan anaknya yang berlarian menuju gerbang sekolah untuk pergi belajar.
Menurut pandangan Ainia Ambarawati, kebiasaan para orang tua memberikan wejangan seperti itu, memperlihatkan bahwa orang tua seperti itu menuntut pada anaknya untuk meraih prestasi akademik yang memuaskan dalam bentuk NILAI, sebenarnya itu keliru. Paling baik, dalam setiap wejangan sebaiknya disematkan nilai ketuhanan, sehingga dasar berfikir anak akan selalu mengacau pada hal yang religius. Kecenderungan yang tampak sekarang ialah cara berpikir anak yang lebih condong pada hal-hal berbau materialistis.
Tak ada salahnya memang mementingkan hal material dalam dunia pendidikan, seperti material angka-angka yang termaktub dalam buku rapor sebagai nilai. Namun, hal itu akan menjadi salah ketika hanya tujuan material semata yang terus digaungkan. Kaidah-kaidah non-material, seperti niali-nilai ketuhanan adalah faktor penting yang juga melandasi cara berpikir anak di bangku pendidikan. Menurut Ainia Ambarawati, pandangan orang tua mengenai konsep “sukses” pada masa depan anaknya haruslah dipandang pula secara moril-spirituil, tidak hanya materiil.
Nilai ketuhanan dapat dijadikan sebagai acuan untuk berpikir pada anak dalam menyelesaikan permasalahannya. Caranya tidak terlalu sulit. Misalnya saja, para orang tua biasa menggunakan kebiasaan mengobrol dengan anak sebagai media mengenalkan nilai-nilai ketuhanan. Dimulai dari hal yang paling sederhana, seperti bagaimana Tuhan memberikan nikmat kepada manusia. Mengajak anak untuk mengobrol tentang nikmat Tuhan atas karunia bernapas, mengunyah makanan, hingga kemampuan manusia mengeluarkan sisa olahan makanan. Itu semua tentu akan merangsang si anak untuk berpikir tentang nilai ketuhanan.
Dengan mengetahui kebaikan yang melekat dalam setiap nikmat itu, anak pun akan cenderung lebih menghargai apa yang dimilikinnya. Memperkenalkan berbagai nikmat yang melekat di dalam tubuh si anak adalah cara sederhana untuk memperkenalkan nilai ketuhanan. Dan perkenalan semacam itu akan menumbuhkan investasi berharga bagi perkembangan berpikir anak hingga masa dewasanya.
Sementara itu, aspek materiil hanya akan menggiring anak pada pola-pola pikir yang meremehkan dan tidak mengindahkan kewajibannya, atau sleder. Sleder disebabkan oleh lemahnya rasa hormat terhadap orang lain. Sikap sleder berhubungan dengan penyimpangan etika. Tidak jarang kita temui anak-anak yang secara tidak sadar dibentuk sebagai pribadi yang berorientasi pada aspek materiil, pada akhirnya menjadi orang yang tidak jujur (atau bahkan pada level terburuknya menjadi anarkis) jika semasa kanak-kanaknya tidak diberikan suplemen pengetahuan ketuhanan.
Tidak sedikit anak-anak yang memilih untuk menyontek guna mendapatkan nilai yang tinggi. Sangat sedikit anak yang memilih untuk tidak menyontek dengan alasan malu karena dilihat Tuhan-nya. Padahal, menyontek adalah salah satu perbuatan yang tidak menghormati orang lain. Menyontek berarti tidak menghargai orang yang tidak menyontek. Dan tidak menghargai orang yang memilih untuk tidak menyontek berarti juga tidak menghargai Tuhan, karena itu berarti dia tidak menghargai kejujuran. Sementara kejujuran adalah salah satu nilai ketuhanan yang dianugerahkan kepada diri manusia.
**Kisah Dari Ainia Ambarawati Seorang Pemerhati Dunia Anak