Pemuda itu sudah beberapa kali menyeka keringat yang mengucur deras dari wajahnya dengan lengan bajunya.
"Mana sih bisnya," dia menggerutu dalam hati.
Menunggu adalah pekerjaan yang paling menyiksa, apalagi setelah tenaganya diperas untuk kerja seharian di pabrik yang pengap itu. Dia sudah tidak bisa, atau bahkan mungkin juga tidak sempat lagi untuk membedakan, panas di dalam pabriknya itu akibat udara Semarang yang memang panasnya minta ampun, ataukah ventilasi ruangan pabriknya yang tidak memadai.
Sekali lagi disekanya butir-butir keringat yang mengalir di wajahnya dengan lengan bajunya sampai lengan bajunya berubah warna, yang semula biru muda menjadi abu-abu. Sebentar diliriknya gadis yang berdiri beberapa langkah dari tempatnya berdiri di halte itu. "Manis juga cewek ini. Ah...daripada bengong nungguin bis yang nggak juga muncul, mendingan ngobrol saja sama cewek ini," pikirnya.
"Mau pulang mbak?" dia mulai berbasa-basi.
"Iya," pendek jawaban gadis itu sambil memperlihatkan senyumnya yang manis.
"Rumahnya di mana sih mbak?"
"Aku di sini nge-kos. Di daerah Karangasem."
"Mmm..Oh..iya mbak kita belum kenalan. Namaku Andi," dia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
"Wati," diperlihatkannya senyum manisnya sekali lagi sambil menjabat tangan pemuda di depannya itu.
"Kok kayaknya aku belum pernah lihat kamu menunggu bis di halte ini ya?"
"Iya, biasanya aku bareng sama temanku se-kos naik motor, tapi beberapa hari yang lalu motornya di jual, dia bilang buat bayar sekolah adiknya."
"Oooo..," hanya itu tanggapan Andi.
"Mas, aku pulang dulu ya, bisnya udah datang," sambil berlari menuju pintu bis yang sudah jadi rebutan beberapa penumpang yang menunggu dari tadi.
"Besok ketemu lagi ya.." teriak Andi yang juga sambil berlari, karena bis yang telah ditunggunya dari tadi juga ikut-ikutan datang.
Entah kenapa malam ini Andi belum juga bisa tidur. Dilihatnya jam dinding yang tergantung di atas pintu kamarnya, sudah jam 12 malam. Ingatannya terus saja tertuju kepada gadis yang ditemuinya di halte bis sore tadi. Ia juga tidak tahu sebabnya, padahal ia telah biasa bertemu dan berkenalan dengan banyak gadis. "Gadis ini lain. Wajah dan bibirnya yang mungil tidak memperlihatkan wajah yang kekanak-kanakan karena sorot matanya yang tajam telah memperlihatkan kedewasaan," ia membayangkan dalam hati. Tidak sabar ia menunggu esok untuk bertemu dengan gadis yang telah membuatnya sulit memejamkan mata.
Ia pun tertidur.
Sore yang ditunggu itu pun datang juga. Bergegas ia menuju halte yang jaraknya kurang lebih 50 meter dari pabrik tempat ia memeras tenaga. Dilihatnya gadis itu masih juga berdiri di tempatnya seperti kemarin.
"Hai.., sudah lama?" sapanya.
"Nggak kok, baru saja."
"Kamu kerja di mana sih?"
"Pabrik tekstil itu," sambil menunjuk ke salah satu bangunan yang banyak berdiri di kawasan industri itu.
"Sudah lama kerja di situ?" tanya Andi.
"Baru dua bulan. Kalau kamu kerja di mana?" Wati ganti bertanya.
"Aku kerja di pabrik garmen yang di sebelah sana," jawabnya sambil menunjuk ke suatu arah.
"Aku sudah dua tahun kerja di situ," sambungnya.
"Kamu asli Semarang ya?" tanya Wati.
"Iya, rumahku di daerah Pleburan. Trus, kamu aslinya mana?"
"Cepu," jawab Wati sambil mengusap keringat yang menetes di wajahnya dengan sapu tangan putih yang dari tadi dipegangnya.
"Kok bisa sampai kerja di sini sih?" tanya Andi seperti seorang polisi menginterogasi tersangka maling ayam yang baru saja tertangkap.
"Aku dulu kerja di sebuah pabrik di Cepu selama tiga tahun, tapi kemudian dikeluarkan atau tepatnya kontrakku tidak diperpanjang, cari tenaga baru, katanya. Makanya aku ke Semarang untuk cari kerja. Untunglah sampai di sini aku bisa langsung dapat kerja," panjang lebar Wati menceritakan pengalamannya.
"Trus orang tuamu nggak kerja?" tanya Andi lagi.
"Kedua orang tuaku sudah meninggal, makanya aku harus kerja untuk membiayai sekolah dan menghidupi adik dan juga kakekku yang sering sakit-sakitan."
"Oh..maaf aku nggak tahu. Mmm..kalau saja kita nggak memakai sistem kerja kontrak, pasti lebih terjamin ya?" Andi tiba-tiba menjadi serius.
"Iya, paling tidak, mendingan lah," jawab Wati lesu.
"Yah..orang kecil kayak kita ini bisanya juga cuma nurut saja," gantian Andi sekarang yang mengeluh.
Gadis itu terdiam, begitu juga Andi. Ditatapnya gadis di depannya itu dari wajah sampai ke kaki. Senyumnya yang begitu manis dan pakaian yang selalu bersih dengan setia membalut tubuh mungil gadis itu, telah membuat Andi terpesona.
"Mas, aku pulang dulu ya," dan seperti biasanya, Wati berlari menuju pintu bis yang telah jadi rebutan penumpang lainnya.
Sepeninggal Wati, Andi terdiam. Pikirannya masih melayang kepada gadis itu. "Kasihan," ucapnya dalam hati. Dia tidak bisa membayangkan gadis seusia Wati harus bekerja membanting tulang demi kelangsungan hidupnya dan juga keluarganya. Keadaan telah merebut kebahagiaan gadis itu.
Tiba-tiba Andi terkejut ketika ada ribut-ribut di belakangnya. Seorang lelaki setengah baya tiba-tiba berteriak sekuat tenaga.
"Copet...copet..!" teriak orang itu.
Orang yang diteriaki langsung berlari sekencang-kencangnya menghindari kejaran beberapa orang yang segera bereaksi oleh teriakan lelaki tadi. Masih remaja tanggung. Dia berlari melompati selokan yang menganga di depannya dan berusaha menyeberang jalan yang sedang padat-padatnya karena sudah jam pulang kerja. Tapi sial baginya, baru beberapa langkah dia berlari, sebuah mobil tiba-tiba menghantam tubuhnya sehingga terlontar beberapa meter di pinggiran jalan. Baru saja ia berusaha bangun, sebuah tendangan keras telah menghantam dadanya yang membuatnya terjengkang ke belakang, dan tanpa dikomando, orang-orang yang tadi ikut mengejarnya, beramai-ramai mengahadiahi pukulan dan tendangan yang membuat mukanya babak belur. Darah telah menetes dari hidung dan mulutnya yang kemudian membasahi beberapa bagian dari baju yang dikenakannya. Keributan itu baru berhenti ketika beberapa orang polisi datang melerai dan menyeret remaja yang sudah tak berdaya itu dan memasukkannya ke mobil.
Kejadian itu membuat angan Andi melayang. Jauh. Sekali ini bukan pada gadis yang telah membuatnya sulit tidur beberapa malam ini. Tapi pada beribu-ribu kanak-kanak yang bergelandangan di sepanjang jalan seluruh kota. Di seluruh Jawa. Di seluruh Indonesia. Mereka telah digiring oleh Sang Lapar ke mana yang berkuasa itu menghendaki. Dan kalau ada keberanian barang sedikit pada mereka itu, mengapa tidak akan mencuri? Mereka adalah korban masa, didikan masa! Mungkin remaja copet tadi terus-menerus mengalami kesusahan sejak ia baru belajar berjalan. Dan dengan sadar atau tidak, manusia berkewajiban memanjangkan umurnya. Barangkali bapaknya dulu adalah pengangguran seumur hidupnya, atau barangkali adalah copet juga, yang untuk hidup harus dikejar-kejar orang terlebih dulu, apalagi untuk menyekolahkan anaknya dengan harapan supaya tidak mengikuti jejaknya. Dan sekolah menjadi tidak mungkin, karena seolah-olah, di negeri ini orang miskin dilarang sekolah, karena biayanya bisa mencekik leher orang-orang seperti itu. Apalagi untuk bekerja, orang membutuhkan ijazah dari sekolahan.
Semua kenyataan yang telah disaksikan dan dirasakan, membuat Andi muak, muak kepada orang-orang yang selalu menggembar-gemborkan tentang pembangunan. Kenapa pembangunan harus memakan anak-anaknya sendiri?
Ia pun muak kepada dirinya sendiri, yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Lamunan Andi buyar ketika bis yang akan membawanya pulang ke rumah telah datang.
Dan senja pun telah tiba di Semarang.