Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Oh Karyawan...

6 Februari 2012   01:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:01 619 0
Kemarin di Blacberry Group KMB (Kelompok Mentoring Bisnis) yang saya mentori, terjadi diskusi seru membahas tentang karyawan. O iya, KMB ini adalah salah satu program  komunitas TDA (Tangan Di Atas) yang bertujuan membantu rekan-rekan yang baru mulai buka usaha untuk mengembangkan bisnisnya. Kebetulan saya diberi kepercayaan untuk mementori salah satu KMB di wilayah Depok. Diskusi tentang karyawan ini sepertinya tidak ada habis-habisnya di kalangan rekan-rekan pengusaha UKM. “Dari nol saya ajari, saya didik, saya latih.. eh sudah pintar dia pindah kerja”. “Sudah dibantu, dilatih, diajari.. eh dia keluar gitu aja. Dasar ga tau terimakasih!” “Sudah dikasih gaji besar, bonus tinggi, masih aja bilang kurang dan malas-malasan”.  “Ga punya ijazah, ga ada keahlian, ga ada ketrampilan, minta gaji jauh di atas UMR.. emang perusahaan nenek moyang lo?!”.. Hehe.. Saya jadi teringat pak Dahlan Iskan (DI) di acara Pesta Wirausaha TDA 28-29 Januari lalu. Di sesi tanya jawab ada seorang ibu yang bertanya tentang karyawan kira-kira tidak jauh seperti pertanyaan-pertanyaan di atas. Sebelum bertanya, saat si ibu mengacungkan tangannya, pak DI langsung berlari menghampiri dan melempar mic dari jarak sekitar 2 meter ke ibu tadi. Si ibu pun sigap menagkap mic tersebut. Humble dan enerjik sekali bapak menteri satu ini. Setelah si ibu bertanya, pak DI bercerita, bahwa dia dulu pernah didemo oleh AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), karena dituduh menggaji wartawan-wartawan di Jawa Pos dengan gaji yang kecil. Perusahaan menggaji kecil ada dua alasan, kata pak DI, gaji kecil karena sistem, atau gaji kecil karena proses. Yang beliau lakukan adalah menggaji karyawan sesuai proses. Karyawan digaji sesuai kemampuannya. Tidak mungkin karyawan yang tidak mengerti apa-apa kita gaji besar. Tapi semakin dia berkembang kemampuan dan keahliannya, gajinya juga akan semakin besar. Sejalan juga dengan perkembangan perusahaan. Jika perusahaan tetap menggaji kecil seseorang padahal kemampuan si karyawan meningkat dan perusahaan juga dalam kondisi sedang berkembang, maka pengusaha itu menzalimi karyawannya. Pak DI menambahkan, jangan pernah juga menahan karyawan yang ingin keluar atau ingin pindah kerja. Karena mungkin itu salah satu cara seleksi alam, sehingga akan tersisa hanya karyawan yang cocok dan sevisi dengan kita. Mungkin juga dia ingin memperbaiki kehidupan dengan penghasilan yang lebih besar. Lalu bagaimana, kan kita  yang sudah mengajari dan mendidik dia, sekarang  setelah pintar dan menguasai keahlian, dia pindah kerja seenaknya. Ya diikhlaskan saja kata beliau. Karena bagaimana pun kita sudah berhasil mendidik seseorang menjadi lebih berkompeten, dibanding saat dia belum menjadi karyawan kita. Kita telah mencetak seseorang yang tadinya bukan apa-apa, menjadi seseorang yang terlatih dan berguna untuk keluarganya, orang tuanya, dan lingkungannya. Kita telah berjasa mengantarkan seseorang memperoleh kehidupan yang lebih baik. Pasti itu ada pahalanya di sisi Tuhan, tambah beliau. Hmm.. luarbiasa memang pak DI ini. Saya benar-benar terhenyak mendengar ulasan beliau. Saya beberapa kali pernah mengalami hal seperti itu. Ditinggal karyawan yang sudah kita latih dari nol. Setelah pintar mereka pindah kerja ke tempat lain. Biasanya yang kita lakukan adalah dengan mudah menyumpah-nyumpah kelakuan karyawan kita tersebut. Tapi jika kita bisa bersikap seperti pak DI, bahwa kita melatih karyawan adalah untuk meningkatkan kemampuan dia agar bisa mendapat gaji yang lebih besar, meningkatkan taraf hidupnya dan mencetaknya menjadi manusia yang lebih baik, maka tentu kita tidak akan sakit hati. Terus terang saya jadi punya pandangan yang sama sekali berbeda mengenai mendidik karyawan. Senada pula yang disampaikan Mas Mono, pemilik jaringan restoran Ayam Bakar Mas Mono, di sesi penutupan Pesta Wirausaha tersebut. Dengan konsep Spiritual Company-nya, Mas Mono mempraktekkan bahwa nilai-nilai agama sangat penting di perusahaannya. Contohnya mengabsen karyawan dari sholat Dhuha-nya. Atau menutup restorannya saat jam sholat Jumat. Dia bilang, aset perusahaannya bukanlah berapa gedung yang dimiliki, berapa hektar tanah yang dikuasai, tapi aset perusahaannya adalah karyawan-karyawannya yang dia latih agar menjadi manusia yang sholeh, yang taat pada Tuhan, dan yang berkarakter kuat. Ya, itu pula misi komunitas TDA, yang mencanangkan konsep Characterpreneur, mencetak pengusaha yang berkarakter. Jika pemilik usaha mempunyai karakter yang baik, tentunya ini akan jadi budaya perusahaan, dan akan menular kepada seluruh karyawannya. Dengan semakin banyak pengusaha dan perusahaan yang berkarakter, tentunya makin banyak tercetak karyawan-karyawan yang berkarakter. Pada gilirannya, manusia-manusia berkarakter ini akan mewarnai keluarganya dan lingkungannya, sehingga menjadikan kehidupan lebih indah dan taraf hidup meningkat. Successful people are always looking for opportunities to help others.  Unsuccessful people are always asking "What's in it for me?"  ~Brian Tracy . Depok, 5 Februari 2012 Muadzin Jihad Owner dan CEO Semerbak Coffee Twitter @muadzin

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun