Bukankah terdapat fakta yang membuktikan bahwa rakyat suatu daerah seperti Solo sdh memberi amanat kepadanya utk menjadi kepala daerah tetapi ditinggalkan dengan tujuan menjadi gubernur jakarta. Dan begitu pula rakyat jakarta dengan segala harapan sesuai janji (janji kampanyenya maupun visi misi calon gubernurnya) lalu memilihnya untuk jadi kepala daerah khusus ibukota, yg berarti memberikan amanat besar pula padanya. Ini adalah fakta konkret. Lalu dengan seenaknya dia meninggalkan gelanggang janji, meninggalkan medan pengabdian sejati untuk negeri yg menjadi kewajiban jabatan yg jelas bentuknya sebagai amanat yg harus dilaksanakan untuk diselesaikan. Hanya dengan alasan patuh dan tunduk pada perintah dan tugas organisasi untuk maju sbg calon presiden, dan ditambah alasan membenahi jakarta harus memerlukan jabatan yg lebih tinggi (presiden), yang berarti sama saja mengatakan bahwa presiden yg ada selama ini tidak bisa dan mampu membenahi ruwetnya jakarta dan hanya dialah yg mampu membenahi jakarta dengan jadi kepala negara. Amanat kecil saja mudah dikangkangi hanya karena perintah satu organisasi Bagaimana kalau amanat rakyat Indonesia berada dipundaknya. Yakinkan kami bahwa negeri ini akan sejahtera di atas pundaknya. Atau hanya kartu-kartu mati dengan label kartu sehat dan pintar yg berhasil menghipnotis rakyat jakarta juga menjadi cara kampanye untuk menjadi barang dagangan politik Indonesia. Sikap khianat terhadap amanat dan ingkar janji jelas bukan sifat manusia yg baik dan benar. Tentu itu bukan pula sikap seorang pemimpin yang mulia apalagi menjadi yang di AGUNG kan. Dan mengagungkan org spt itu tentu membuat dia lupa diri dan takabur, sama lupanya terhadap peran dan pengorbanan orang lain atas keberhasilannya mengalahkan si kumis.
Apakah orang spt itu layak dipilih sbg pemimpin. Jangankan seorang pemimpin, seorang manusia biasa saja harus memenuhi janjinya, menunaikan amanat yg dipercayakan kepadanya, jujur dan bersikap satunya kata dengan perbuatan.
Sebagai orang yang beragama, maka sangat wajar bila patokan kita dalam menentukan seorang pemimpin itu tidak terlepas dari garis-garis yg sudah ditentukan agama.
Dari Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafiq tulen, dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dia dusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika berseteru dia berbuat kefajiran”. (HR. Al-Bukhari no. 89 dan Muslim no. 58)
Terlalu riskan apabila kita yg mampu berpikir secara rasional membiarkan negara jatuh di tangan pemimpin yg tidak mampu berdiri di atas kaki sendiri dan selalu tergantung orang lain.
Membiarkan Indonesia jatuh pada pilihan pemimpin yg salah, sama saja membiarkan anak-anak Indonesia ke depan bukan menjadi tuan di tanah ibu pertiwinya sendiri.
INDONESIA HEBAT ADALAH INDONESIA YG MERDEKA DARI KEPENTINGAN MODAL, MERDEKA DARI KEPENTINGAN GOLONGAN, KEPENTINGAN PARTAI DAN KEPENTINGAN YG MENGABAIKAN AMANAT PENDERITAAN RAKYAT DALAM SETIAP PEMILU.