Debat semacam itu sudah sewajarnya. Itu gejala sehat. Pertanda demokrasi masih hidup di negeri ini.
Namun, jika argumen yang dimajukan sudah mengandung kesalahan (fallacy) yang disengaja, maka itu bukan lagi debat yang sehat. Tidak sehat karena kesalahan itu dimaksudkan menyesatkan publik kepada simpulan tertentu.
Dua kesalahan yang terkandung dalam argumen-argumen debat itu adalah pengajuan dua fakta palsu yaitu "penggusuran" dan "manusia perahu".
Kelompok "kontra-" khususnya telah membuat sebuah argumen keliru yaitu (1) Pemda DKI melakukan "penggusuran" terhadap warga Luar Batang, Penjaringan, dan (2) penggusuran tersebut menyebabkan munculnya "manusia perahu" di perairan Pasar Ikan Luar Batang.
Dua artikel "serupa tapi tak sama" dari Musni Umar di Kompasiana bisa mewakili keseluruhan argumen keliru tersebut. Artikel yang saya maksud adalah "Penggusuran Pasar Ikan Luar Batang Ciptakan "Manusia Perahu" (K.15/4/2016) dan "Habis Digusur Terbitlah Manusia Perahu di Luar Batang" (K.16/4/2016).
Saya akan gunakan artikel Musni Umar sebagai rujukan. Berseberangan dengan dia, saya hendak tunjukkan bahwa tidak ada " penggusuran" dan "manusia perahu" di Luar Batang.
Bukan “Penggusuran” tapi “Relokasi”
Apa yang terjadi di Luar Batang bukanlah penggusuran melainkan relokasi warga. Secara sosiologis jelas itu dua proses sosial yang berbeda.
Penggusuran adalah proses pemindahan paksa warga dari suatu lokasi tanpa solusi penyediaan lokasi baru. Tidak ada kompromi. Pokoknya, harus pindah dari lokasi itu. Kemana pindahnya, terserah warga. Itu bukan urusan penggusur.
Relokasi adalah proses pemindahan warga dari satu lokasi dengan solusi penyediaan lokasi baru. Ada kompromi di sini. Warga dipindahkan ke lokasi baru dan memperoleh fasilitas dampingan serta sarana dan prasarana sosial-ekonomi.
Pada kasus Luar Batang, Pemda DKI telah menyediakan lokasi baru bagi eks-warga, yaitu Rusunawa Marunda, Jakarta Utara dan Rusunawa Rawabebek, Jakarta Timur. Juga disediakan prasarana dan sarana sosial-ekonomi tertentu.
Karena itu jelas yang terjadi di Pasar Ikan Luar Batang adalah suatu proses relokasi warga, bukan penggusuran. Langkah relokasi itu dilaksanakan sebagai implementasi rencana penataan ruang kota untuk mewujudkan Jakarta modern, sebagai representasi Indonesia Hebat.
Lantas mengapa istilah penggusuran yang mengemuka? Sebenarnya ini istilah yang lazim digunakan kalangan LSM. Atau oleh pihak mana saja yang menganggap relokasi sebagai pelanggaran HAM. Atau yang menganggap relokasi sebagai "akal-akalan" pemerintah untuk alih-fungsi pemukiman warga menjadi kawasan bisnis.
Memang ada presedennya. Pada banyak kasus, semasa Orde Baru dan sesudahnya, implementasi pemindahan warga kampung di DKI Jakarta memang bukan perwujudan relokasi. Tapi perwujudan penggusuran untuk memfasilitasi alih-fungsi ruang menjadi kawasan bisnis.