Masyarakat Batak Toba di Pangururan, Samosir di awal abad-20 begitu pula.Mereka percaya bahwa daratan Samosir adalah janin yang dihubungkan tanah genting sebagai tali pusar ke daratan Sumatera, persis di kaki Dolok (Gunung) Pusukbuhit.
Kepercayaan itu ternyata sempat menjadi masalah ketika tahun 1906 Pemerintah Kolonial Belanda membangun Terusan Wilhelmina, setempat dikenal sebagai “Tano Ponggol” (Tanah Putus), menyodet tanah genting sepanjang 1.5 km dari sisi selatan ke sisi utara.Tujuannya untuk memudahkan mobilisasi tentara dan logistik Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu.Terusan ini menyebabkan Samosir sepenuhnya dikelilingi air, sehingga boleh menyandang status “pulau”.
Menurut cerita kakek Poltak kepada Poltak, pada hari terakhir penggalian terusan itu oleh tenaga rodi, terjadi kegemparan besar di Pangururan.
“Kalau sampai tali pusar ini putus, maka Pangururan dan seluruh Samosir pasti tenggelam ke dasar danau,” kata Ompu Datu Bolon, seorang dukun besar yang sangat sohor dan dihormati, kepada warga Pangururan.Seluruh warga Pangururan langsung panik mendengar ramalan Ompu Datu tersebut.
“Agar selamat, kita semua harus mengungsi ke kaki Dolok Pusukbuhit,” titah Ompu Datu yang segera ditindak-lanjuti dengan eksodus seluruh warga Pangururan ke kaki Pusukbuhit, di sisi barat terusan yang sedang digali.
Tuan Controleur van Samosir yang menjadi administratur onderafdeling Samosir waktu itu mati-matian meyakinkan warga Pangururan bahwa Samosir tidak akan tenggelam karena pembangunan terusan itu.Tapi ucapan penjajah itu sia-sia saja.Warga Pangururan lebih percaya kepada Ompu Datu Bolon.
“Baiklah, saya akan bertapa di bawah pohon beringin besar di sisi timur terusan itu, untuk menjaga agar Samosir tidak tenggelam,” kata Tuan Controleur kepada warga, sambil menunjuk kearah pohon beringin besar yang dikeramatkan warga setempat.
Lalu Tuan Controleur van Samosir pergi dan duduk diam bersila sepanjang hari di bawah pohon beringin keramat itu.Sementara Ompu Datu dan warga berdiam di sisi barat, cemas menunggu saat-saat Samosir tenggelam.
Tepat menjelang matahari terbenam, tanah terakhir di kedua ujung terusan dibobol dan air danau segera mengalir mengisi terusan dari sisi selatan dan utara sekaligus.Warga Pangururan menunggu dengan cemas di sisi barat. Sementara Tuan Controleur tetap duduk bersila dengan tenang di bawah pohon beringin.
Saat air danau sudah memenuhi terusan dengan sempurna, Tuan Controleur bangkit berdiri dan berseru kepada warga di seberang barat terusan:
“Lihatlah! Samosir tidak tenggelam!Saya sudah perintahkan semua roh penunggu danau untuk kerja rodi menjaga agar Samosir tidak tenggelam!”
Seluruh warga Panguruan bersorak gembira dan berlari melalui jembatan darurat menemui Tuan Controleur untuk mengucapkan terima kasih.Sejak hari itu, warga Pangururan menggelari Tuan Controleur sebagai Tuan Datu Belanda.Dan sejak hari itu pula, Tuan Controleur punya kesibukan baru: melayani warga yang datang kepadanya untuk mengobati penyakit yang aneh-aneh, mengusir roh-roh jahat, atau sekadar meminta jampi-jampi pelet pengasih.(*)
#Moral revolusi mental-nya: “Jangan memaksakan rasionalitas sains modern kepada orang yang menganut rasionalitas pengetahuan tradisional.”