Berlanjut dari penasaran saya, googling tentang mas EA terus terlaksana semalaman. sampai dari wacana mas EA sudah di penjara atau mas EA punya pengikut. dari komen komen yang menaggapi celotehan tentang mas EA saya mencoba stalking buat orang orang yang "pro" sama mas EA. ada yang memang dia berpaham seakan Indonesia ini tidak perlu ramein hal hal tentang filsafat, kebebasan berpendapat harus di junjung tinggi dan merupakan HAM. mungkin orang ini bicara tentang kebablasan yah. jadi ingat cerita Nabi Musa yang meninggalkan ummatnya ke gunung sina'i untuk menerima 10 perintah Tuhan. waktu itu juga ada orang yang menjujung tinggi kebablasan. Musa Samiri sang nabi palsu dan berujung pada kesesatan.
Setelah ber akun akun yang saya stalking, entah kenapa ruangan yang saya tempati semakin panas. apa karena hati saya yang mulai kecewa dengan perkembangan teknologi yang cenderung ke arah amoral? cuma hati saya yang tahu.
Dulu waktu jaman wartel dan telpon koin masih berjaya, sepertinya isu isu SARA seperti ini yang mengatasnamakan kebebasan ekpresi tidak terlalu muncul. apa karena teknologi yang di buat manusia demi kesejahteraan ummat manusia ini sudah menunjukkan mata satu dia yang semakin besar dan mata lain dia yang semakin mengecil. kudeta teknologi adalah dajjal yang nyata. semakin mudah orang membuat pengaruh pengaruh ide ide yang mungkin didapat dia waktu buang air besar sambil merokok di wc. semakin gampang penyebarannya. mari kita renungkan lagi. dajjal sudah hadir, tergantung kita semua.
dan aku ingin kembali ke tahun 90an. biar orba dan pak harto masih hidup tidak apa apa. yang penting saya sudah muak ngeliat pergerkan informasi yang begitu cepat, gadget indah yang memisahkan kita dengan kehidupan sosial. dan penyalahgunaan kebablasan berpendapat. sekarang saya kaum muda yang tersesat di google karena ketika mengetik "sma" yang muncul adalah seragam putih abu abu dengan tonjolan dada anak anak seumur tanpa kancing. selamat datang di jaman Dajjal. lebih baik saya di gunung tanpa sinyal gprs dan membaca novel indah kahlil gibran.