Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mencari Sisa Ruang Untuk Kejujuran

9 Agustus 2011   03:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:58 73 0
Dalam satu percakapan, penulis sempat dibuat kecewa dengan seorang sahabat yang memutuskan untuk resign dari pekerjaannya di homeschooling. Apalagi dengan keputusannya itu memaksanya untuk menghabiskan banyak waktunya di rumah saja. Alasan dia resign adalah karena ia  tidak ingin terlibat lebih jauh dengan kecurangan dan kebohongan. Penulis bilang padanya bahwa hal bodoh bila keluar dari pekerjaan hanya karena sikap 'sok idealis'. Ia hanya pasrah dengan apa yang penulis bilang, dan ia bilang akan menerangkannya di telfon nanti.

Benar saja, keesokan harinya ia menelfon penulis. Awalnya penulis kira yang telfon itu klien yang sedang menagih janji yang belum penulis penuhi, ternyata sahabat penulis itu. Mulanya biasa, basa-basi ngalor-ngidul, tanya kabar lah, bilang mulutnya bau lah karena puasa, dsb. Tak selang lama, ia mulai membuka pembicaraan mengenai alasan dia keluar dari pekerjaannya.

Dalam penuturannya, paling tidak penulis bisa menangkap ada tiga hal yang dianggap oleh sahabat penulis itu negatif dan tidak bisa ditolerir lagi, pertama, adalah janji manis atasan yang tak pernah terpenuhi. Dikatakan olehnya bahwa atasannya itu seperti trainer dalam berbicara, menggebu dan penuh motivasi, dan tentu saja semua yang dikatakannya itu positif. Ia baru tahu perilaku sebenarnya setelah beberapa bulan bekerja di sana. Yaitu bahwa hampir dari semua yang dikatakannya tidak sesuai dengan yang diperbuatnya. Apalagi gaji karyawannya selalu telat dibayarnya, nyicil lagi! Padahal gaji kan hal yang sensitif bagi karyawan. Mendengar nada bicaranya yang santai dan merendah rasanya untuk masalah yang satu ini oleh sahabat penulis masih bisa ditolerir.

Kedua, seringnya si atasan meninggalkan ibadah sholat. Sebagai seorang muslim, si atasan dianggap oleh sahabat penulis itu wajib menjalankan shalat lima waktu, meski tidak tepat waktu itu masih dianggapnya wajar. Tapi bila sudah meninggalkan, baginya itu keterlaluan. Di mata santri yang taat, hal  seperti ini adalah sesuatu yang tabu.  Apalagi ia adalah seorang atasan (kepala sekolah barangkali tepatnya) yang mestinya memberi tauladan bagi karyawan dan anak-anak didiknya. Pengamatan ini dilakukan karena ruang kerja sahabat penulis dan atasannya itu satu ruangan, sehingga hampir setiap gerak perilaku atasannya itu masuk radar pantauannya, menurutnya.

Ketiga, yang menurut sahabat penulis itu paling tidak bisa ditolerir adalah kecurangan dan kebobrokan atasan dalam menentukan kebijakan seputar kelulusan anak muridnya. Lebih jauh si sahabat menjelaskan bahwa homeschooling tempatnya bekerja hanya seperti layaknya tempat penjualan ijazah. Banyak anak-anak murid yang tidak terdaftar di tempat itu kemudian tiba-tiba namanya masuk dalam daftar ujian. Hal ini menjadi beban buat sahabat penulis karena ia diposisikan di bagian administrasi yang mencatat setiap aktifitas homeschooling-nya itu.  Menurutnya hal ini adalah kecurangan yang tidak bisa diterimanya.

Yang lebih parah menurutnya adalah pemungutan uang untuk ditukar dengan kunci jawaban ujian. Untuk mendapatkan kunci jawaban itu, setiap anak dipungut RP 500.000,- tanpa sepengetahuan orangtua. Dan bila orangtua tahu hal ini maka kepadanya dipungut lebih dari angka itu. "Apa hal ini masih bisa diterima?", tanyanya pada penulis. Si sahabat begitu antusias dan penuh semangat dalam bercerita. Barangkali ini adalah hal-hal yang pertama kali ditemuinya sehingga begitu herannya dengan peristiwa-peristiwa semacam itu. Paling tidak ini menurut pandangan penulis.

Lalu apakah sebetulnya hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang baru?

hmmm...

Penulis bergumam dalam hati, "Bukannya itu memang sudah budaya kita? Kenapa kamu harus begitu herannya?"

Mungkin si sahabat tahu bahwa itu sudah tradisi, tapi dunia seperti itu baru pertama kali dirasakannya langsung. Untuk ukuran orang sejujur dia hal ini adalah hal yang tidak bisa diampuni.Penulis salut dengan sikap tegasnya untuk keluar dari kubangan kecurangan itu, meski harus mengorbankan pekerjaannya.

Untuk penulis, hal seperti ini bukanlah hal baru. Pembaca tentunya masih ingat bagaimana Ibu Siami dikucilkan warga dan saudara di kampungnya gara-gara membongkar kebobrokan dalam ujian nasional. Dalam masalah ini bukan kasus Ibu Siami-nya yang ingin penulis angkat, tetapi mengenai kesialan kebobrokan yang terbongkar ke publik. Itu hanya satu saja contoh peristiwa betapa kebohongan menjadi kebenaran umum di masyarakat. Siapa yang patut dipersalahkan dan bagaimana solusinya sebetulnya?

Di dunia kampus, terutama kampus tempat penulis mengejar gelar S-1, berlaku curang seperti menjadi kebanggaan. Mohon maaf bila ada yang tersinggung dengan tulisan penulis, tapi rasanya kita harus mulai belajar fair. Di kampus kecurangan seperti diajarkan. Indikasi ini penulis lihat paling tidak melalui dua aspek yang sangat mencolok dalam penglihatan penulis. Pertama, Bagaimana organisasi-organisasi ekstra-kampus berebut kekuasaan, baik kekuasaan internal organisasi maupun kekuasaan dalam kampus. Sikut kanan-kiri, money-politik atau propaganda hitam seperti menjadi kewajiban. Anehnya yang melakukan itu merasa bangga dengan apa yang dilakukannya, bahkan diajarkan oleh senior kepada juniornya di organisasi. Kedua, bagaimana staff kampus yang 'birokratis' itu, baik itu dosen maupun pegawai lainnya, akan lebih mudah pengurusannya dalam segala hal (nilai ataupun sekedar tanda tangan) bila ada pelicinnya. Harapan penulis semoga apa yang terjadi di kampus penulis hanya fatamorgana saja, karena kampus selama ini telah terpatri imej pencetak generasi penerus bangsa. Bila generasi penerusnya telah disetting untuk berlaku curang, bagaimana bangsa ini bisa membudayakan kejujuran? Ini baru di tataran kampus, bagaimana di tataran pemerintahan? Itu rahasia umum!!!

Kunci untuk membentuk budaya sebetulnya ada di dunia kampus. Kampuslah yang akan melahirkan agen-agen perubahan. Agen-agen inilah yang diharapkan dapat melempar wacana tentang etika dan mendampingi masyarakat serta pemerintah agar berada di jalur yang sesuai dengan harmoni alam. Alam semesta tidak pernah berebut sedikit pun mengenai apa yang dibutuhkannya, mereka hanya mengambil apa yang mereka butuhkan tanpa rakus untuk menumpuknya di gudang-gudang mereka. Tapi sayangnya, mereka yang selaras dengan harmoni alam ini yang malah terkucilkan makhluk sesamanya

Adakah ruang yang tersisa untuk kejujuran di negeri kita? Sepertinya hanya orang-orang seperti sahabat penulis dan Ibu Siami saja yang tahu jawabannya.

Wallahu A'lam Bi Ash-Showaab..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun