Selama lima hari empat malam kemarin saya berlibur di Gili islands, Lombok. Maunya ke tempat yang sepi untuk menghindari bunyi petasan, berniat ngga mau repot dengan pekerjaan rumah tanpa pembantu dan ingin berleha-leha menghirup udara pantai yang bebas polusi. Tak nyana, rencana diluar perkiraan, saya malah jadi ‘pembantu’ di pulau yang berbau kotoran kuda ini. Sama sekali berubah, layaknya pengumuman dadakan akan hari Lebaran yang berpindah tanggal. Liburan gagal? Hari pertama saya sudah dimanjakan dengan pemandangan alam yang luar biasa. Pulau yang dikelilingi pasir putih dengan air laut berwarna
turquoise memang adalah suguhan yang sudah dinanti. Di pulau ini tak ada kendaraan sama sekali, termasuk sepeda motor, jadi tak ada polusi. Bagus. Alat transportasi hanyalah ‘
Cidomo‘ (delman/dokar/andong) dan sepeda, pantesan, saya mencium bau kotoran kuda disini.
Well, tak apalah
toh lebih natural dibandingkan asap beracun knalpot Jakarta
! Ingin rasanya untuk langsung menceburkan diri ke laut saat itu juga, tapi saya harus bersabar menunggu antrian
check-in yang lumayan ramai di salah satu hotel. Saya diminta menitipkan
bawaan di
receptionist karena kamar belum siap dibersihkan,
heh?,
it’s okay lah,
kan lebih menarik duduk-duduk di restoran menghadap ke laut daripada masuk kamar. Suasana restoran dan bar dekat pantai sangat ramai dipenuhi turis asing. Saya berusaha mencari pelayan untuk memesan minuman. Hanya terlihat satu-dua pelayan yang sibuk melayani sekian banyaknya tamu.
Duh… Sebelum menggerutu, saya tiba-tiba didatangi oleh seorang perempuan
bule,
“Have you ordered?”. Saya bilang belum, dia langsung menanyakan pesanan saya. Saya pikir, lucu juga ada pelayan
bule yang melayani saya, orang Indo, di pulau yang ada di Indonesia pula.
Kool! Sore hari saat saya selesai
snorkeling, kejadian aneh dan ‘
kool‘ terjadi lagi. Ketika sedang berteduh di sebuah
gazebo saya kembali didatangi seorang pria
bule dengan pertanyaan,
“Would you like to have something to drink?”. Agak bingung, saya bertanya apakah dia adalah pemilik salah satu
gazebo yang juga berfungsi sebagai bar tersebut, dengan senyuman si
bule menjawab,
“No, I’m just a tourist like you. I’m helping this place since all the waiters are busy, most of them are gone mudik.”. Saya melongo.
Ho? Hari kedua, ketiga sampai H-1 Lebaran, pulau ini tambah ramai dan sepi. Ramai oleh wisatawan, sepi oleh pelayan. Mata saya jadi terbiasa melihat beberapa turis yang mondar mandir melayani turis lainnya, ada yang mengangkat tabung oksigen dan peralatan
diving sendiri ke kapal, ada
cewek bule mendorong kapal ke tengah laut, ada yang menggotong tabung gas dengan sepeda sampai ada yang jadi supir Cidomo!
That’s a big WOW! Ironisnya, ada wisatawan sekeluarga asal Indonesia di sebelah meja saya marah-marah kepada salah satu pelayan lokal, karena pesanannya terlambat datang
plus pesanan yang salah, padahal si pelayan sudah menjelaskan dan meminta maaf. Saya coba membayangkan bila berlibur di luar negri dengan keadaan yang sama seperti di pulau ini, berapa banyak orang Indo yang mau menjadi pelayan sukarela di negeri orang? Geleng-geleng kepala, pasti
ngga banyak. Hari Lebaran tiba dan pagi itu pulau sepi
kayak kuburan. Jam 9 restoran baru dibuka oleh satu pelayan saja, karena masih banyak yang sedang
sholat Ied. Tanpa disuruh, saya mendatangi para turis yang sedang menunggu pelayanan
breakfast.
Yup, saya jadi pelayan sukarela, menanyakan pesanan, membawakan pesanan, mengambil piring kosong, mengisi gelas kosong. Sampai saya ‘kena batunya’, seorang turis Jerman menanyakan cara memasak salah satu pesanan yang ada di menu, saya jawab,
“Sorry sir, I have no idea… but, I can ask …….” Saya malah diomeli,
“How did you become a waitress if….” Untungnya dia minta maaf, setelah saya jelaskan kalau saya ini hanya pelayan
dadakan. Jam 10 beberapa pelayan mulai berdatangan. Mereka disambut beberapa turis yang menjadi pelayan sukarelawan dengan pelukan hangat dan ucapan ‘Selamat Idul Fitri”. Sambutan para
waiters pun tak kalah bersahabat, mereka mengucapkan terima kasih berulang kali, dan berteriak,
“Yes, no more puasa, ayo kerja lagi!”. Semua tertawa, semua senang. Suatu pemandangan yang mengharukan. – Hari terakhir di Gili saya habiskan dengan menikmati turunnya
sunset di tepi pantai. Merahnya langit dan birunya laut, udara segar dengan sesekali bau kotoran kuda, layanan pelayan dari orang asing serasa berada di
world class-top holiday destination, semarak petasan dan kembang api membuat liburan Lebaran saya di Lombok … gagal?
No. Sempura.
www.mscomplaint.com
KEMBALI KE ARTIKEL