Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Pertobatan Pemikiran: Jalan Menuju Indonesia Damai

16 Maret 2012   04:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:59 253 0
Akhir-akhir ini isu gesekan horizontal atas nama komunitas-komunitas tertentu kian menguat. Ada Front Pembela Islam (FPI) dengan masyarakat adat Dayak, merupakan salah satu contoh nyata yang aktual. Belasan tahun lalu negara ini juga mengalami sejarah buruk dalam konflik horizontal atas bungkus agama-agama. Lantas mengapa seakan pengulangan terus terjadi meski terjadi pergeseran peran namun tetap pada titik cerita yang sama? Cerita yang sama yaitu konflik horizontal yang terbuka. Tidak lagi hanya sekedar wacana debat dalam forum-forum tertentu; entah dalam kawasan reality maupun hyper reality, namun benar di implementasika sebagai sebuah gerakan juang demi tujuan masing-masing. Kemudian siapa yang harus disalahkan jika hal ini terus membudaya dalam kehidupan Indonesia yang multipural ini? Pemerintah biasanya menjadi kambing hitam tindakan rakyat dengan tuduhan "kurang tanggap", "takut pada FPI", "tidak tegas" dan lain-lain.

Tulisan ini tidak bertujuan untuk membahas mengenai FPI, kelompok Dayak, konspirasi konflik, ataupun pembelaan terhadap satu pihak. Tulisan ini dibuat hanya untuk menyebarkan suatu pertobatan pemahaman komunal. Mengapa perlu pertobatan pemahaman? karena pertobatan merupakan jawaban atas masalah yang sama-sama dihadapi yang juga terus berulang. Oleh karena itu penting untuk menyadari apa yang menjadi titik -kesalahan- berpikir sehingga perlu pertobatan tersebut.

1. Masyarkat Indonesia mengaku majemuk tetapi buta perbedaan.

Indonesia adalah negara dengan bangsa yang serba beda, serba majemuk, serba plural. Hal ini sudah di gaungkan sejak dahulu kala kemudian dipertegas saat memasuki kemerdekaan namun pada waktu yang lama hanya menjadi wacana semata. Indonesia dalam hal ini rakyatnya sadar bahwa setiap mereka berbeda tetapi hanya sekedar mengetahui tanpa mau menerima hal tersebut. Tidak mau menerima dikatakan demikian oleh karena lihat saja bukti bahwa untuk persoalan rumah ibadah saja bertengkar sampai kepada lembaga hukum, berbeda ideologi agama kemudian saling tuding dan curiga, menyadari bahwa masyarakat majemuk tetapi anti pluralisme. Hal-hal semacam ini menjadi contoh konkrit meskipun samar (sengaja disamarkan karena tulisan ini bukan untuk menyerang) tentang bagaimana wajah orang Indonesia menerima perbedaan.
Tidak suka perbedaan padahal hal tersebut merupakan resiko hidup di Indonesia. Bagaimana mungkin hanya ada satu acuan ajaran padahal yang hidup di negara ini terdiri dari banyak pemegang ajaran. Resiko hidup di Indonesia tidak disadari oleh masyarakat Indonesia (khususnya yang senang memaksakan kehendak) yang harusnya mengerti bahwa sejak semula Indonesia memang tidak bisa seragam. Ketidakterbukaan sikap pada resiko ini menjadi kesalahan pertama dalam pemikiran sosial masyarakat.

2. Semangat Fanatisme dalam Triumfalistik dan Kebenaran golongan tertentu menjadi hal yang perlu diperjuangkan.

Golongan tertentu merasa bahwa semangat kejayaan dari ideologi mereka adalah yang paling pantas dan benar untuk semua orang. Alasan inilah yang membuat golongan-golongan tertentu sibuk untuk menarika orang lain masuk habitus mereka. Jika orang lain tidak masuk habitus maka cara lain ialah menerapkan standar kebenaran sendiri sebagai standar kebenaran komunal yang parahnya harus diterima kelompok yang berbeda. Negara sudah punya UU (baca: Undang-Undang) yang mengatur kehidupan bersama tetapi oleh beberapa kaum dianggap tidak cukup bahkan tidak layak menjadi acuan hidup bersama.

Bagi golongan ini ukuran kami harus menjadi anda suka atau tidak suka karena kami yang benar. Jika demikian lantas bagaimana kelompok lain yang juga punya paham kebenaran sendiri? Apakah mereka harus melepaskan kebenaran mereka karena kebenaran kelompok lain? Jawabannya mereka tidak akan melakukan hal tersebut. Jika pemaksaan terus terjadi dan dianggap sebagai hal yang patut diperjuangkan, maka hal ini adalah titik kesalahan berpikir sosial yang ke dua dalam masyarakat.

3. Masyarakat Indonesia lebih suka melihat keluar dari pada ke dalam.

Masyarakat Indonesia memiliki suatu kencederungan buruk yaitu lebih suka mencari-cari hal yang buruk di luar dirinya dari pada melihat keburukanya sendiri. Bahkan ada ide untuk menutupi keburukan diri saat keburukan itu disadari ada. Suatu sikap yang menjadi akar rasa curiga antar komunitas ialah hal ini. Penyebabnya karena keburukan saja yang menjadi orientasi mengapa saya/kami perlu mengenal mereka. Keburukan mereka menjadi senjata saya/kami untuk menjatuhkan mereka maka saya/kami dapat menang atas mereka. Semangat inilah yang terus digunakan oleh rata-rata masyarakat Indonesia. Ini adalah kesalahan sistemik dalam pemikiran sosial masyarakat Indonesia (titik kesalahan yang ketiga).

4. Adanya kepura-puraan dalam dialog antar golongan.

Mencari keburukan ada pada poin sebelumnya tetapi poin ini merupakan penegasan yang lebih keras lagi bahwa dalam membangun hubungan antar golongan sebenarnya dilandaskan pada pretensi untuk menjatuhkan agama lain. Dialog antar agama misalnya berisikan komparasi doktrinal dari tiap agama tanpa sedikit pun menyinggung dunia. Dialog semacam ini hanya ada disurga karena setiap pihak hanya mengedepankan ajaran masing-masing dan berapologetika agar tidak kehilangan muka. Pretensi menjadi titik kesalahan dalam pemikiran sosial masyarkat Indonesia.

Lalu mengapa ke empat poin singkat diatas ada? jawabannya sederhana karena masyarakat Indonesia terlalu eksklusif, fundamentalis, dan anti-plural. Jika rakyat tidak mau melepas sikap tertutup maka tidak mungkin ada dialog antar golongan. Memang ada dialog tetapi didasari oleh semangat fundamentalis demi mencari kelemahan tidak akan membawa perdamaian melainkan rasa benci karena saling melucuti kekurangan. Anti plural sebagai acuan dimana ketakutan muncul bahwa ideologi tertentu tidak akan spesial lagi tidak ada semangat triumfalisitik lagi karena semua ideologi sama saja, egaliter, dan bahkan tidak ada yang lebih unggul. Hal-hal inilah yang menjadi akar penyakit ideologis dimana kesalahan berpikir muncul.

Perdamaian sebenarnya merupakan sesuatu yang sederhana tetapi oleh karena buruknya pemikiran menjadi hal yang kompleks. Berhentilah mengatakan bahwa konflik karena disengaja oleh pemerintah demi mengalihkan isu, menguatkan kekuasaan, dan lain-lain. Pertanyaannya apakah pengalihan isu dengan konflik horizontal akan mudah terjadi apabila sikap diatas di eleminasi? Untuk itulah rakyat butuh pertobatan berpikir.

Membuang sikap eksklusif dengan menggantinya sebagai sikap inklusif yang terbukan dan menerima tanpa perlu harus menjadi kaum relatif. Penting untuk terbuka tetapi tetap menghargai apa yang dipercaya. Keterbukaan bukan berarti menerima perbedaan lalu melepas apa yang diyakini! Bukan semacam itu. Terbuka dalam hal ini mengarah pada paham pluralisme lebih baik karena bukan hanya sekedar mengakui dan menerima tanpa ada relasi sebagaimana dalam kosmopolitanisme, tetapi menerima dan mewujudkan relasi diantara golongan. Relasi yang dibangun bukan atas semangat fanatisme-fundamentalis karena jika demikian tidak akan ada keterbukaan sebab yang jaringan atau hubungan yang dibangun hanya kepada mereka yang berbeda namun sepaham tetapi mereka yang tidak sepaham dikesampingkan.

Pertobatan pemikiran sosial semacam ini akan menjadikan rakyat sebagai pribadi yang tahan provokasi, tidak mudah menjadi pion politik penguasa, dan juga tidak menjadi penghambat pembangunan. Sekali lagi ditegaskan tidak perlu membiasakan untuk mencari kambing hitam atas kebodohan yang dipeliahara sendiri. Mencoba untuk inklusif, tidak fundamentalis, dan menerapkan prinsip pluralisme akan sangat membantu Indonesia untuk lebih banyak menaruh perhatian pada persoalan pembangunan bukan pada konflik horizontal. Sebab apabila konflik horizontal terjadi percuma melakukan proyek pembangunan kalau hanya untuk dibakar, percuma membangun sumber daya manusia yang handal kalau hanya untuk dibunuh.

Sekian tulisan singkat ini dibuat, Semoga berguna.

Salam,

Joshua Maliogha

Penulis adalah mahasiswa Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana- Salatiga (Jawa Tengah)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun