"Namanya juga baru balajar!", ialah sebuah ungkapan apologetika dalam hemat saya. Sebuah ungkapan pembelaan dan pembenaran akan sesuatu yang mungkin, "masih mungkin" salah yang kemudian dibenarkan. Pembenaran dilakukan atas sebuah alasan tertentu, yaitu "baru belajar." Ungkapan ini sudah menjadi ungkapan universal di Indonesia. Mulai dari desa hingga kota, ungkapan ini sering di ucapkan. Begitu seringnya sampai-sampai ungkapan ini kemudian menjadi sebuah ungkapan yang dianggap wajar dan tepat. Wajar dan tepat untuk menjadi sebuah tameng apologetika terhadap sebuah atau banyak realita.
Signifikansi dan urgensi membahas topik ini sebenarnya secara umum tidak penting sama sekali. Namun secara khusus tunggu dulu! Ungkapan ini sebenarnya ialah salah satu jalan untuk memuluskan apa yang saya sebut sebagai "Pembodohan massal." Mengapa menjadi "pembodohan massal"? bagi saya sederhana saja. Penjelasanya saya mulai dari sebuah kisah fiktif:
"Rudi ialah seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi swasta terkenal. Rudi sebagai seorang mahasiswa bukanlan bentuk mahasiswa yang "kupu-kupu" (baca: kuliah-pulang, kuliah-pulang) atau anggota K3 (baca: kuliah, kafe, kasur). Rudi ialah mahasiswa yang aktif dalam kuliah khususnya berkaitan dengan keterlibatanya dalam pengembangan soft skillnya. Rudi terlibat sebagai anggota Lembaga Kemahasiswaan, anggota Pers Mahasiswa, Anggota Gerakan Mahasiswa luar kampus, dan bahkan ikut dalam berbagai perkumpulan aktivis mahasiswa. Sungguh ideal jalur pendidikan hard dan soft skill yang di ambil Rudi. Secara langsung dan tidak langsung keterlibatanya ini menjadikan Rudi sebagai calon pekerja yang ulung jika lulus nanti karena bekalnya sudah lumayan untuk ukuran mahasiswa. Tidak dipungkiri bahwa keterlibatan Rudi dalam proses belajarnya dalam berbagai wadah tadi turut membentuk Rudi menjadi "sesuatu." Tiba pada suatu waktu, Rudi terlibat dalam politik kampus yang dijalankan oleh dosen-dosenya yang menjadikan mahasiswa sebagai kuda pacu kepentingan dan alat legitimasi mereka. Rudi pun terhanyut dalam propaganda tersebut. Rudi menjadi sangat radikal dalam pemikiranya yang dianggap benar sehingga dia perlu memperjuangkanya. Akan tetapi sejak awal menjadi aktivis Rudi sudah terbentuk untuk menjadi pribadi yang tidak menjadikan demonstrasi sebagai media komunikasinya. Rudi terlanjur percaya bahwa duduk bersama satu meja dan berdiskusi ialah jalan elegan sebagai seorang terpelajar bukan dengan berteriakn tak karuan dibawah terik mentari. Rudi menjadi galau karena pihak yang dia lawan ialah Rektorat. Bagaimana mungkin dia bisa memaksa para mangku bumi untuk turun takhta dan duduk bersama dengan dia sambil beradu argumen tentang kebenaran yang masing-masing mereka anut. Sedangkan Rudi sudah gerah melihat kedudukan dan manuver para rektor dikampusnya. Rudi yang termakan propaganda semakin yakin bahwa ini ialah momen perjuanganya sebagai aktivis yang tak boleh dilewatkan! Lalu Rudi mendapat jalan keluarnya, sebagai wartawan pada Pers Mahasiswa tentu dia bisa dengan bebasnya menyentil penguasa, karena toh pikirnya dia bisa menggunakan kode etik pers dan tetek bengeknya sebagai tameng. Kemudian dengan sepuluh jarinya dia menulis berita yang juga tidak jauh dari propaganda dan ternyata isinya beritanya sungguh diluar dugaan, semuanya berisi kebohongan untuk mendiskreditkan rektorat kampusnya. Bagi Rudi pelemparan isu kepada mahasiswa dengan menimbulkan sentimen negatif akan melemahkan legitimasi rektor karena rektor kehilangan kepercayaan dan popularitas di mata mahasiswa yang jumlah kurang lebih 15.000 orang. Rudi sangat gembira dengan hasilnya kerjanya dan bahkan begitu puas saat artikelnya terbit dan dibaca mahasiswa di kampusnya. Jika Rudi tersenyum puas tidak begitu dengan paradedengkot dikantor rektorat, para rektor menjadi sangat murka dengan pemberitaan negatif dan penuh kebohongan tersebut! Bahkan pembantu rektor bagian kemahsiswaan diminta untuk mengundang penulis untuk memberikan klarifikasi berita. Singkat cerita begitu Rudi dipanggil ternyata Rudi datang tidak sendiri. Rudi datang dengan berbagai dosen yang anti rektor dan teman-teman yang sepemahaman dengan Rudi. Mereka siap membela Rudi melawan rektorat karena tulisanya. Benar saja terjadi debat yang sengit antara pihak Rudi dengan ke-enam rektor di kampus itu. Akan tetapi dari perdebatan itu agaknya pihak rektorat yang lebih unggul dan terdengar benar dalam argumen. Pihak rektor menembakan Rudi dengan pendapat bahwa dalam memuat artikel itu harusnya dia meminta persetujuan yang bersangkutan, karena Rudi memuat nama dan merk dengan jelas dan terang-terangan dalam beritanya. Bahkan rektorat menyatakan bahwa mereka meminta bukti akta dan fakta atas tulisan Rudi tersebut. Pihak Rudi hanya terus-menerus bermain dengan prinsip kode etik pers yang independen, tidak boleh di bredel dan di intervensi kepentingan tertentu. Merasa terpojok karena semua argumen pihak Rudi dapat di patahakn oleh pihak rektorat, maka Joko salah seorang dosen yang membel Rudi dengan gagahnya tampil ke depan ruang pertemuan dan lansung mengkritik para rektor. Joko menyatakan "bapak-bapak orang yang pintar tapi bodoh, Rudi ini kan baru dalam pers, namanya juga baru belajar, mengertilah, dia gak salah kog, kan dia nulis apa yang dia pikir, kayak mbuat status neng Pesuk loch pak, opo sing jenengan pikir yo uwis tulis ae"! Dengan gegap gempita pendukung Rudi memberikan tepuk tangan sambil di iringi keheranan para rektor dengan sikap itu. Kemudian salah seorang pembantu rektor dengan suara meninggi membalas komentar tersebut "memang benar baru belajar, tapi kalau salah harus di ajar mana yang benar bukan di biarkan, kayak gini yang mbuat negeri ini makin kacau, yang salah dibela karena kepentingan kepalamu itu'! Tiba-tiba seluruh ruangan terdiam tak ada satupun orang yang berbicara, entah sadar akan balasan pembantu rektor tadi atau sedang mencari argumen pengakis lain hanya Tuhan yang tahu."
Dari kisah diatas saya menitik beratkan argumen dosen yang membela tokoh Rudi, dengan slengean menyatakan bahwa "namanya baru belajar." Terlepas dari setiap kepentingan apapun itu, hendaklah sesuatu yang salah dibenarkan dengan cara memberitahu kesalahan dan memberikan jalan yang semestinya. Jika dalam kehidupan ungkapan ini digunakan hanya untuk menjaga agar seseorang yang baru belajar tidak putus asa karena kesalahannya, maka tindakan seperti ini bukanlah memajukan seseorang tetapi semakin membenamkan seseorang dalam lumpur kebodohan. Dengan terus-menerus tumbuh dalam toleransi semacam itu seseorang akan tumbuh dalam sebuah toleransi terhadap kesalahan tanpa perlu berpikir untuk sedapat-dapatnya tidak salah. Pola akan menentukan bentuk, jika pola pembodohanya nampak seperti ini maka jangan heran bentuk kerjanya sangat hancur. Contoh lain: jika seseorang korupsi pada tingkat RT ada ungkapan "akh gak apa-apa cuma sedikit uang yang masuk kantong dari pada koruptor di pusat lebih banyak!" Sungguh ironis.
Dengan membenarkan kesalahan kecil sebagai sebuah jalan pembenaran maka sesungguhnya sebuah proses terstrukur untuk pembodohan akut telah dirintis. Jalan keluarnya bagi saya sangat sederhana. Jadilah seseorang yang mampu menyatakan kesalahan dan memberi kebenaran tanpa perlu menyinggung dan menghina yang salah. Sekecil usaha tersebut memang sulit tetapi setidaknya tidak membuat generasi berikutnya makin bodoh dengan membenaran kesalahan. Kemudian jangan gunakan kepentingan pribadi pada orang-orang yang baru belajar sebagai kendaraan kebutuhan personal, sebab kesan pertama dari apa yang dipelajari akan menjadi pengalaman dasar bagi tiap orang yang baru belajar.
semoga berguna
Joshua Maliogha