Artinya, bukan peralatan sebagai subjek pelaksana, melainkan orang yang menggunakan peralatan. Pada dunia fotografi, istilah ini juga sering dikaitkan untuk memosisikan keahlian seseorang dalam memotret objek. Keahlian fotografi bukan terletak pada kameranya, tapi pada skill atau sang fotografer.
Ketika kondisi cahaya pas, dan angle yang menarik, dijamin bakal sulit dibedakan antara hasil jepretan kamera seharga Rp 40 juta dengan potret hasil bidikan kamera harga Rp 4 jutaan. Memang, sulit dipungkiri, kamera harga mahal memiliki banyak kelebihan yang membantu pengguna untuk mendapat hasil foto maksimal. Padahal, semua kelebihan itu adalah fasilitas. Apakah jika tanpa fasilitas pendukung itu, sang fotografer bisa mendapat hasil maksimal? Jawabannya kembali pada kalimat bijak dari Barat tadi.
Dan, kalimat bijak itu diterjemahkan oleh vendor-vendor raksasa dunia menjadi ponsel-ponsel berkamera yang kini di genggaman hampir tiap lapisan masyarakat. Dari ponsel harga Rp 200 ribuan sampai jutaan rupiah, hampir semua menyediakan fasilitas kamera dengan kualitasnya beragam pula.
Kini, kemampuan memotret bukan lagi milik fotografer. Semua orang yang mempunya ponsel berkamera bisa menjadi fotografer, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain. Sosial media juga memfasilitasi dengan menawarkan fitur uploading gambar, bahkan berkombinasi dengan aplikasi buatan pihak ketiga untuk hasil lebih baik atau unik. Satu contoh adalah Instagram, yang kini sudah dikuasai Facebook.
Saking mudahnya mengoperasikan, maka seseorang yang tidak punya keahlian memotret pun hasil jepretannya terlihat menarik. Fakta itu menegaskan bahwa di balik foto yang keren, ada pemencet tombol shutter, ada yang mengarahkan. Tak tertutup kemungkinan jika hasil jepretan dari seorang fotografer menggunakan kamera ponsel kemudian diotak-atik dengan instagram, hasilnya bakal lebih baik dari hasil foto kamera canggih tapi sang tukang foto tak menguasai teknik memotret.
Senjata dan kamera adalah alat atau sarana. Sang pemegang atau pengendalinya lah yang mengarahkan bidikannya. Sama seperti lidah, bisa membuat seorang berkuasa dengan kemampuan agitasinya. Seni atau teknik memaksimalkan fungsi lidah untuk berkomunikasi ini menempatkan tokoh-tokoh dunia berjaya di masanya.
Di Eropa ada Adolf Hitler. Di Benua Amerika (Kuba) diwakili Fidel Castro. Sementara Asia (Indonesia) dikenal nama Presiden RI pertama Soekarno. Apakah lidah menjadi kekuatan krusial atau sekadar alat pengecap, semua tergantung kepada si pemilik lidah. Tapi, kalau melihat talkshow di televisi, orang Indonesia mulai pandai dalam agitasi, ahli bersilat lidah. Tapi, apakah barangkali memang bakat alami bangsa Indonesia pintar berkoar-koar?
Read more at http://royannaimi.blogspot.com/2012/09/bakat-alami.html#3ZS0QsjvppzwKRtz.99