Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Fenomena Kata BM yang Memiriskan Hati

9 September 2011   08:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:07 6057 1
[caption id="attachment_128980" align="alignleft" width="150" caption="ketika kata yang tabu bagi orang dewasa menjadi populer dan lazim bagi kalangan anak-anak"][/caption]

Jika anda mengaku peduli dengan lingkungan masyarakat dan siap melakukan perubahan setelah membaca tulisan ini I’m strongly recommended anda untuk melanjutkan membaca sampai tuntas, tapi jika anda tidak peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar anda, stop, berhenti sampai disini saja.

Lazimnya suatu perkataan adalah mempunyai esensi sebagai wakil makna dari suatu perilaku, bahkan dari suatu hadis shahih yang kurang lebih berbunyi "perkataan adalah doa bagimu, jadi bertutur katalah dengan baik”. Vernacular merupakan identitas dari suatu daerah menjadi peragam dan masih banyak lagi keragaman-unik budaya dari negeri tercinta ini yang merupakan kebanggaan bagi siapapun yang mengaku bernegara Indonesia. Fenomena-fenomena budaya yang dikonfrontir dengan perubahan keterpaksaan modernisasi menjadi menu sajian sehari-hari yang tak ayal sebagian orang mengatakan sebagai “Kebiasaan” khususnya mereka yang hidup di kota dan segala hingar-bingarnya. “BASAMAMI” (yang selanjutnya dalam tulisan ini disingkat dengan BM), BM secara etimologi berasal dari bahasa Makassar yang artinya suatu keadaan keterangsangan pada lawan jenis kelamin atau hasrat birahi pada laki-laki atau perempuan yang berada pada titik puncak (red. Sampai pakaian Basah). Jika anda sempatkan singgah di Kota ini, sontak keadaan miris sembilu akan serasa mengiris hati, bisa anda bayangkan jika kata BM tersebut dilafadzkan secara gamblang bebas bahkan dijadikan bumbu-bumbu pelengkap lelucon kalimat pergaulan baik anak-anak kecil sampai golongan umur muda-mudi di kota ini. kata BM yang seharusnya tabu ini begitu popular, bak seperti ledakan reklame dari produk yang baru terbit seperti itulah fenomena kata itu, but unfortunately keadaan ini telah berlangsung bertahun-tahun lalu. Mulai dari grafity-grafity ditembok-tembok beton samping jalanan sampai pada stiker-stiker tertempel di spatbor sepeda motor, mobil pribadi, pete-pete (mobil angkot .red) dengan berbagai model desain grafis yang siapapun dapat dengan jelas membacanya. Hal ini sangat kontras kontradiktifnya dengan kota yang mengaku berakhlak, bermoral dan berbudaya malu ini dengan slogan Walikotanya “Menuju Kota Dunia”. Pastinya Kita sangat tidak berharap jangan sampai Kota ini kelak terkenal dengan jalan maksiatnya yang berbasis pada lini kehidupan masyarakatnya baik itu maksiat Kata/Ucapan, lebih-lebih maksiat perilaku dan maksiat tingkah laku warganya.

Dari hasil penelitian kecil-kecilan yang penulis lakukan dengan responden adalah anak sekolah dasar berusia 7 sampai 10 tahun yang mewakili populasi dari 1 kelas dengan tempat penelitian ini di SD dimana keponakan penulis bersekolah dengan kuesioner skala Likert (selalu, sering, kadang-kadang dan tidak pernah). Menggunakan program statistic kekasih Mahasiswa SPSS (Statistic Package for Social Sciences) didapatkan informasi bahwa seluruh responden mengatakan bahwa sering berkata BM dan mengetahui arti katanya serta hubungannya dengan pengetahan makna kata BM juga didapatkan nilai value probabilitas signifikan atau ada hubungan yang bermakna.

Miris memang mengakui fenomena seperti ini, tapi lebih sadis mana jika kita bercuek bebek duduk diam saja atau hanya melakukan tindakan sejauh-jauhnya menggeleng kepala. Pastinya tidak semua pemuda-pemudi yang senang dengan fenomena populernya BM, bahkan ketika penulis berdiskusi ringan dengan salah satu Ibu Guru di SD, penulis patut mengacungi jempol kepada beliau (tentunya penulis tidak secara langusng praktekkan didepan beliau) menunjukkan sikap kecenderungan melarang siswanya untuk berkata kotor seperti BM itu sendiri bahkan menghukum jika mendapatinya.

Off course-lah skor Nol besar jika saja di masa depan Kota ini kelak menjadi Kota Dunia tetapi masyarakatnya akan diisi oleh anak-anak remaja yang tidak dididik menjadi masyarakat yang berakhal, bermoral, beragama sedari dulu. maka Saran penulis, harus kita solve dengan analogi sumber air, dimana fokus pemecahannya terlebih dahulu pada sumbernya dan mengikut pada keran airnya. Sejatinya, Moral dan Akhlak bukan sekedar gratifikasi atau pemberian cuma-cuma, bukan pula didapat dari hasil pendidikan instan dibangku sekolah begitu saja, atau dengan melalui proses pembelajaran yang beriringan dengan berlalunya umur sampai dikelompokkan berumur dewasa, melainkan moral/akhlak didapatkan dengan berbagai aspek fungsi salah satunya fungsi masyarakat yang sangat terlibat langsung dari proses pembentukan moral dan akhlak warga masyarakat. mari kita hancurleburkan segala stiker-stiker atau segala aksesoris berbahasa kebodohan kata-kata BM yang menjadi kebiasaan ini, dentam-dentumkan propaganda pembinasaan kata BM atau konotatif lain yang bermakna sama, mulai dari keluarga, anak-anak, adik-adik, kemenakan mulai dari langkah kecil untuk besarnya harapan di masa depan. Tujuan penulisan ini tak lain hanya cakaran informatif bersifat persuasif yang Insha Allah adalah langkah penulis untuk ber ­Nahi Mungkar.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sungguh ada seorang hamba yang mengucapkan satu kata (buruk) sehingga ia terjerumus ke dalam neraka lebih dalam dari jarak antara timur dan barat.

Coretan Pertama.

Salam Kompasiana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun