Secara umum agama-agama di dunia mengakui eksistensi kehidupan setelah kematian, walaupun berbeda pandangan tentang apa, bagaimana, dan di mana proses kehidupan setelah kematian itu berlangsung. Demikian juga, dalam ajaran Buddha, keyakinan akan kehidupan setelah kematian dan keberadaan alam-alam lain selain dunia fana ini, menjadi salah satu pondasi dasar keyakinan dan pandangan umat Buddha. Dalam Dhammasangani, salah satu kitab Buddhis, disebutkan terdapat sepuluh pandangan salah atau keliru, salah satunya adalah "tidak ada dunia lain", yaitu tidak meyakini adanya kehidupan berikutnya setelah kehidupan ini.
Namun secara sains dan penyelidikan ilmiah, keberadaan alam setelah kematian atau kehidupan berikutnya setelah kehidupan ini tidak dapat dapat dibuktikan secara masuk akal. Oleh sebab itu, para ilmuwan menyatakan bahwa setelah kematian tidak ada apa-apa lagi. Dalam ajaran Buddha, pandangan ini disebut juga annihilisme (ucchedavada) yang cenderung mengarah pada materialisme. Pandangan ini telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu, ketika ajaran Buddha baru berkembang di India, seperti kisah berikut ini.
Payasi Sutta[1]: Tanya Jawab Tentang Kehidupan Lain
Suatu ketika Bhikkhu Kumara Kassapa, siswa langsung Sang Buddha yang dikenal pandai berkotbah, berkunjung ke daerah Setavya di kerajaan Kosala di mana Pangeran Payasi bertempat tinggal. Pangeran Payasi dikenal sebagai seorang skeptik yang menganut pandangan salah "tidak ada alam lain, tidak ada makhluk yang terlahir spontan, tidak ada buah dari perbuatan baik atau buruk" (yaitu tidak meyakini adanya alam lain, makhluk-makhluk yang tidak terlihat secara kasat mata, dan akibat perbuatan baik dan buruk). Mendengar kedatangan seorang pengikut ajaran yang berbeda dengan ajaran yang dianutnya, Pangeran Payasi menemui sang bhikkhu untuk menanyakan tentang hal ini.
Pangeran Payasi mengemukakan alasannya tidak meyakini keberadaan alam lain sebagai berikut:
"Yang Mulia Kassapa, aku memiliki teman-teman dan sanak saudara yang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran seksual, berbohong, menghina, berkata-kata kasar dan bergosip, serakah, penuh kebencian dan menganut pandangan salah. Akhirnya mereka jatuh sakit dan ketika aku yakin bahwa mereka tidak akan sembuh, aku mendatangi mereka dan berkata:
'Ada para pertapa dan brahmana (baca: para guru agama) yang menyatakan bahwa mereka yang melakukan perbuatan tercela, menganut pandangan salah, setelah kematian saat hancurnya jasmani, akan terlahir di alam sengsara, di neraka. Sekarang engkau telah melakukan hal-hal ini dan jika apa yang dikatakan para pertapa dan brahmana itu benar, maka ke sanalah kalian akan pergi. Sekarang jika, setelah kematian, kalian pergi ke alam sengsara, datanglah kepadaku dan katakan bahwa ada alam lain.'
Tetapi meskipun mereka setuju, mereka tidak pernah datang memberitahukan kepadaku, juga tidak mengirim utusan. Itulah, Yang Mulia Kassapa, alasanku mempertahankan: 'Tidak ada alam lain, tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, tidak ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk'."
Bhikkhu Kumara Kassapa menjawab, "Bagaimanakah menurutmu, Pangeran? Seandainya orang-orang membawa seorang maling yang tertangkap basah dan berkata: 'Orang ini, Tuanku, adalah seorang maling yang tertangkap basah. Hukumlah ia seperti yang engkau inginkan.'
Dan engkau akan berkata: 'Ikat kedua tangannya di belakang dengan tali yang kuat, cukur rambutnya, dan giring ia dengan tabuhan genderang melalui jalan-jalan dan lapangan, keluar melalui gerbang selatan, dan di sana penggal kepalanya.' Mereka menjawab: 'Baik, Tuanku' dan melakukan seperti yang diperintahkan serta akan memenggal kepalanya.
Sekarang, jika maling itu berkata kepada para algojo: 'Algojo yang baik, di kota dan desa ini, aku memiliki teman-teman dan sanak saudara, mohon tunggulah sampai aku mengunjungi mereka semuanya,' apakah ia akan mendapatkan keinginannya?"
"Ia tidak akan mendapatkan apa yang ia inginkan, Yang Mulia Kassapa. Mereka akan langsung memenggal kepalanya," jawab Pangeran Payasi.
"Demikian pula, Pangeran, maling ini bahkan tidak mendapatkan izin dari algojo manusia agar mereka menunda hukuman sementara ia mengunjungi teman-teman dan sanak-saudaranya. Demikian pula, bagaimana teman-teman dan sanak saudaramu yang telah melakukan semua kejahatan ini, setelah kematian dan pergi ke alam sengsara, dapat membujuk penjaga neraka, dengan mengatakan: 'Penjaga neraka yang baik, mohon tunggulah sementara kami melaporkan kepada Pangeran Payasi bahwa ada alam lain, ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk'?"
Kemudian Pangeran Payasi mengajukan argumentasi lain:
‘Yang Mulia Kassapa, aku memiliki teman-teman yang menghindari perbuatan salah, tidak serakah, tidak membenci dan menganut pandangan benar. Akhirnya mereka jatuh sakit dan ketika aku yakin bahwa mereka tidak akan sembuh, aku mendatangi mereka dan berkata:
'Ada para pertapa dan brahmana yang menyatakan dan percaya bahwa mereka yang menghindari perbuatan salah dan menganut pandangan benar, setelah kematian saat hancurnya jasmani, akan terlahir di alam bahagia, di alam surga. Sekarang engkau telah melakukan hal-hal ini, dan jika apa yang dikatakan para pertapa dan brahmana itu benar, maka ke sanalah kalian akan pergi. Sekarang jika, setelah kematian, kalian pergi ke alam bahagia, alam surga, datanglah kepadaku dan katakan bahwa ada alam lain.'
Tetapi meskipun mereka setuju, mereka tidak pernah datang memberitahukan kepadaku, juga tidak mengirim utusan. Itulah, Yang Mulia Kassapa, alasanku mempertahankan bahwa tidak ada alam lain."
"Pangeran, aku akan memberikan satu perumpamaan, karena beberapa orang bijaksana akan memahami apa yang disampaikan melalui perumpamaan. Seandainya ada seseorang yang terjatuh ke dalam lubang kotoran dan engkau mengatakan kepada para pelayanmu: 'Angkat orang itu keluar dari lubang itu!' dan mereka menjawab: 'Baiklah,' dan melakukan hal itu.
Kemudian engkau akan mengatakan kepada mereka agar membersihkan badan orang itu dari kotoran, mengoleskan minyak ke badan orang itu dan kemudian memandikannya tiga kali dengan bubuk sabun yang baik, mencukur rambut dan janggutnya, dan menghiasnya dengan karangan bunga harum, salep, dan pakaian. Akhirnya engkau mengatakan kepada mereka untuk membawanya ke istanamu dan membiarkan ia menikmati kenikmatan lima indria, dan mereka melakukan semua hal itu.
Bagaimana menurutmu, Pangeran? Apakah orang itu, setelah mandi bersih, dengan rambut dan janggut tercukur rapi, dihias dengan karangan bunga, berpakaian putih, dan dibawa ke istana, menikmati dan bergembira dalam kenikmatan lima indria, ingin pergi ke lubang kotoran itu lagi?"
"Tidak, Yang Mulia Kassapa. Karena lubang kotoran itu kotor, bau, mengerikan, menjijikkan, dan biasanya dianggap demikian."
"Demikianlah, Pangeran, manusia adalah kotor, berbau, mengerikan, menjijikkan, dan biasanya dianggap demikian oleh para makhluk surgawi. Jadi mengapakah teman-temanmu yang tidak melakukan perbuatan salah dan setelah kematian terlahir kembali di alam bahagia, alam surga, datang kembali dan mengatakan bahwa ada alam lain, ada buah dari perbuatan baik dan buruk'?"
Dan seterusnya, terdapat sejumlah tanya jawab antara keduanya sehingga Pangeran Payasi akhirnya mengakui kebenaran adanya alam lain. Terdapat juga percobaan yang menarik yang dilakukan Pangeran Payasi untuk mengetahui keberadaan jiwa, misalnya ketika seseorang telah meninggal dunia mengapa tubuhnya menjadi lebih berat, lunak, dan lentur dibandingkan ketika ia masih hidup. Jawaban yang diberikan adalah:
"Seandainya seseorang menimbang sebuah bola besi yang telah dipanaskan sepanjang hari, membara, terbakar hebat, bersinar. Dan seandainya setelah beberapa saat, ketika telah menjadi dingin dan padam, ia menimbangnya lagi. Pada saat bola besi itu panas, ada unsur api dan angin, maka bola besi itu lebih ringan, lebih lunak dan lebih lentur. Ketika tanpa unsur-unsur ini, bola besi itu menjadi dingin dan padam. Demikian juga dengan jasmani ini. Ketika masih memiliki unsur kehidupan, panas, dan kesadaran, maka jasmani ini lebih ringan, lebih lunak, dan lebih lentur. Tetapi ketika dipisahkan dari unsur kehidupan, panas dan kesadaran, jasmani ini menjadi lebih berat, lebih kaku, dan lebih tidak lentur."
Tentu saja jawaban ini tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, tetapi secara filsafat Buddhis (Abhidhamma) memang demikian halnya. Hal ini menyiratkan bahwa tidak semua hal bisa dibuktikan secara ilmiah melalui sains dan hal-hal yang belum terungkap oleh sains itu belum tentu tidak ada atau tidak benar. Seperti halnya seorang anak kecil yang berusaha membuat api dengan membelah kayu api menjadi potongan-potongan kecil dan menumbuknya menjadi abu dan menampinya tidak akan mendapatkan api yang diinginkan, demikian juga orang-orang yang menggunakan metode ilmiah untuk membuktikan keberadaan alam lain belum tentu bisa memperoleh hasil yang diharapkan.
Apannaka Sutta[2]: Bagaimana Jika Alam Lain Sebenarnya Tidak Ada
Ketika Sang Buddha berkunjung ke desa Sala di kerajaan Kosala, para brahmana berbondong-bondong menemui Beliau untuk mengetahui ajaran-Nya. Dalam kotbah-Nya Sang Buddha memberikan argumentasi tentang kerugian akibat menganut pandangan tidak ada alam lain dan keuntungan menganut pandangan ada alam lain seperti di bawah ini:
"Orang-orang yang menganut pandangan bahwa tidak ada dunia lain akan menghindari tiga kondisi bermanfaat, yaitu perilaku jasmani benar, ucapan benar, dan pikiran benar, serta mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu perilaku jasmani salah, ucapan salah, dan pikiran salah. Mengapakah? Karena mereka itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat."
Sebaliknya mereka yang menganut pandangan bahwa ada alam lain akan menghindari perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran yang salah serta menjalankan perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran yang benar karena mereka melihat sisi negatif dari tiga kondisi yang tidak bermanfaat dan mengetahui manfaat dari pelepasan keduniawian dan penyucian dalam tiga kondisi yang bermanfaat. Dengan demikian, mereka yang menganut pandangan salah akan berperilaku tidak benar, sedangkan mereka yang menganut pandangan benar akan berperilaku benar juga.
Selanjutnya, dari pandangan salah ini dapat timbul kondisi-kondisi tidak bermanfaat lainnya, yaitu kehendak salah, ucapan salah, bertentangan dengan para mulia (yang mengajarkan pandangan benar), meyakinkan orang lain untuk menerima kebenaran palsu, serta memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Sebaliknya orang-orang yang berpandangan benar memiliki kehendak benar, ucapan benar, bersesuaian dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima kebenaran sejati, serta tidak memuji diri sendiri dan menghina orang lain.
Kemudian Sang Buddha berkata, "Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:
'Sekarang apakah kata-kata para pertapa dan brahmana (baca: para guru agama) itu benar atau salah, biarlah aku mengandaikan bahwa tidak ada dunia lain, tetap saja orang yang menganut pandangan tidak ada dunia lain ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut ajaran ketiadaan. Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada dunia lain, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat.
'Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengandaikan bahwa tidak ada dunia lain, tetap saja orang yang menganut pandangan ada dunia lain ini di sini dan saat ini dipuji oleh para bijaksana sebagai seorang yang bermoral, seorang dengan pandangan benar yang menganut ajaran penegasan keberadaan dunia lain. Dan di pihak lain, jika ternyata ada dunia lain, maka orang ini telah melakukan lemparan yang beruntung pada kedua sisi: ia dipuji oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam berbahagia, bahkan di alam surga. Ia telah secara benar menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga mencakup kedua sisi dan tidak mencakup alternatif yang tidak bermanfaat'."
Jadi, kalaupun surga dan neraka itu benar-benar tidak ada atau hanya dongeng semata, orang-orang yang tidak meyakini keberadaannya akan menjalankan kehidupan yang salah melalui perbuatan, ucapan, dan pikiran yang keliru karena pandangan salahnya sehingga dicela sebagai orang yang tidak bermoral dan berpandangan keliru. Sebaliknya, mereka yang meyakini keberadaan alam-alam lain akan menjalani kehidupan yang benar melalui tindak-tanduknya yang tidak keliru sehingga dipuji sebagai orang yang bermoral dan berpandangan benar. Jika alam berikutnya setelah kehidupan ini benar-benar ada, maka orang yang tidak meyakini keberadaan alam lain ini telah melakukan taruhan yang tidak beruntung di dunia ini dan di dunia berikutnya.
Penutup
Walaupun sains dengan metode ilmiahnya bermanfaat bagi kehidupan manusia dan dapat memecahkan berbagai pertanyaan kehidupan, namun tidak selamanya sains itu bermanfaat bagi kehidupan spiritual. Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa sains dan ajaran Buddha bertolak belakang sama sekali, namun ada ranah-ranah tertentu yang tidak dicakup oleh salah satu dari keduanya karena perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh keduanya. Misalnya ajaran Buddha tidak mengajarkan bagaimana asal usul kehidupan di dunia ini karena tidak bermanfaat bagi kehidupan spiritual yang bertujuan mencapai kedamaian batin yang sejati, sedangkan sains tidak dapat mengungkapkan bagaimana proses kerja pikiran atau batin untuk mencapai kedamaian sejati.
Jadi, apa pun kata para ilmuwan tentang keberadaan kehidupan setelah kematian, biarlah kita yang meyakininya tetap menjalankan kehidupan yang benar melalui perbuatan, ucapan, dan pikiran yang benar karena dengan itu saja kita telah memperoleh manfaat di dunia ini (dengan asumsi terburuk bahwa dunia lain tidak ada!). Ingatlah, di dunia ini hanya kebajikan dan kebenaran yang dipuji para bijaksana, bukan keburukan dan kesalahan.
Sumber:
1. Digha Nikaya: Kotbah-Kotbah Panjang Sang Buddha oleh Maurice Walshe (trans), Dhammacitta Press.
2. Majjhima Nikaya bagian 2: Lima Puluh Kotbah Menengah Sang Buddha Kedua, http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17773.0