Di sisi lain desa, ada keluarga Bu Siti yang hidup pas-pasan. Suaminya bekerja sebagai buruh harian, dan penghasilan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Makan mereka sederhana, hanya dengan lauk pauk seadanya. Namun, wajah mereka selalu sumringah. Anak-anak Bu Siti selalu bermain bersama dengan riang, dan setiap malam mereka berkumpul untuk bercanda dan bercerita.
Suatu hari, Pak Budi merasa lelah dengan kehidupannya yang penuh tekanan. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di desa dan tanpa sengaja bertemu dengan Bu Siti. Mereka berbincang-bincang, dan Pak Budi terkejut melihat betapa bahagianya keluarga Bu Siti meskipun hidup serba kekurangan.
"Kok bisa ya, Bu? Dengan kondisi seperti ini, keluarga Ibu tetap bahagia?" tanya Pak Budi.
Bu Siti tersenyum lembut dan menjawab, "Bahagia itu sederhana, Pak. Kami menerima apa yang sudah diberikan oleh yang Maha Kuasa dengan ikhlas. Uang dan harta bukanlah jaminan kebahagiaan. Yang penting adalah kebersamaan dan rasa syukur."
Kata-kata Bu Siti menggetarkan hati Pak Budi. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada materi dan melupakan kebahagiaan sederhana yang ada di sekitarnya. Pulang dari perbincangan itu, Pak Budi mulai mengubah cara pandangnya. Ia lebih banyak meluangkan waktu bersama keluarganya, mengurangi beban kerja, dan lebih banyak bersyukur.
Pak Budi belajar bahwa strata sosial bukanlah jaminan kebahagiaan. Terkadang, yang miskin dengan uang pas-pasan justru lebih mampu menemukan kebahagiaan sejati. Semua itu adalah ketentuan dari yang Maha Kuasa yang harus kita terima dengan ikhlas.
Akhirnya, Pak Budi dan keluarganya menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, bukan dari harta benda, tetapi dari cinta dan kebersamaan. Mereka belajar dari Bu Siti bahwa bahagia itu memang sederhana, kawan!