[caption id="attachment_137809" align="aligncenter" width="640" caption="KOMPAS.com/DANNY RICHARD TAMPUBOLON"][/caption]
Keberadaan pedagang asongan seringkali dinilai mengganggu ketertiban umum dan karenanya seringkali ada upaya untuk mengeliminasi mereka dengan berbagai cara mulai dari operasi penertiban sampai penetapan aturan yang melarang eksistensi mereka. Terlepas dari masalah ketertiban umum dan efek-efek negatif lainnya dari pedagang asongan, harus dinilai juga secara berimbang peran pedagang asongan sebagai salah satu pelaku sektor ekonomi informal di Indonesia dalam penyerapan tenaga kerja dan stimulan terhadap muncul dan berkembangnya usaha mikro di Indonesia.
Pedagang asongan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari potret kehidupan masyarakat Indonesia. Di negara kita tercinta ini, di pinggir-pinggir jalan, jembatan, terminal bis, angkutan umum, bis kota, kereta, tak sulit untuk menemukan pedagang asongan dengan beragam warnanya. “Aqua dingin....aqua dingin...tisu....tisu...mijon... mijon.....”, demikian celotehan khas para pedagang asongan yang pasti sudah tak asing di telinga kita.
Barang-barang yang dijajakan para pedagang asongan sangat beragam dan kadang-kadang unik. Dari yang standar seperti aqua, mijon, tissue. Gorengan, asinan, keripik, nasi bungkus, buah, permen, kopi, sereal, peralatan jahit, berbagai jenis pisau, buku resep masakan, buku-buku pelajaran, majalah, koran, buku-buku agama, buku dongeng, aksesoris handphone, SIM card, mainan anak, ikat rambut, boneka kertas, gantungan kunci, souvenir khas daerah, alat-alat tulis, permen, topeng monyet. Barang-barang yang unik contohnya senter sekaligus korek api, pisau lipat multifungsi, alat unuk memasukkan benang dalam jarum dan masih banyak lagi yang lain. Soal kualitas memang jangan terlalu diharapkan. Dari segi kesehatan, produk makanannya mungkin tidak sehigienis makanan yang dijual di supermarket atau toko makanan.
Profil para pedagang asongan ini pun beragam dari bocah, remaja, orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Rata-rata mereka memiliki taraf pendidikan yang rendah. Meskipun begitu, jangan dikira menjadi pedagang asongan adalah hal yang mudah. Pedagang asongan adalah salesman yang paling tangguh. Dengan strategi menjemput bola, mereka memanfaatkan sifat konsumen yang suka lapar mata. Orang yang tadinya tidak berniat membeli koran, mungkin akan tertarik jika melihat sesuatu yang menarik dari halaman depan koran yang dijajakan si pedagang. Orang yang tidak berniat untuk jajan mungkin tiba-tiba berpikir ‘ngemil boleh juga nih’. Orang yang tidak kepikiran mau membeli mainan mungkin akan jadi teringat anak atau keponakannya di rumah waktu si pedagang menawarkan pesawat atau boneka sambil bilang ‘sayang anak...sayang anak’ dan memutuskan untuk membeli.
Yang paling menakjubkan dari pedagang asongan adalah ketabahan dan sifat pantang menyerahnya walaupun penghasilan yang diperoleh dari hasil keuntungan penjualan mereka sehari pun tidak seberapa, hanya dapat sekedar untuk bertahan hidup. Tak peduli cuaca panas, dingin ataupun hujan, tak peduli berapa banyak kemungkinan barang yang akan berhasil dijualnya, tak peduli kalau nanti bahkan barangnya tidak akan dilirik oleh satupun pembeli, setiap ada kendaraan umum yang baru lewat, dengan sigap dan semangat, mereka akan langsung naik dan mencoba menjual.
Mengganggu Ketertiban Umum
Pedagang asongan mengganggu? Pastinya. Siapa sih yang senang kalau sedang duduk tenang di bis (kalau kebetulan dapat tempat duduk), tiba-tiba masuk serombongan pedagang asongan dengan berisiknya, berjalan di sela-sela tempat duduk yang sempit dengan barang bawaannya yang kadang-kadang nyerempet kepala, kadang-kadang kaki kena injak pula. Sedang kesal karena gerah dan berisik, tiba-tiba ada yang lempar permen jahe ke pangkuan kita, baru kita mau menoleh ke arah si pelempar, tiba-tiba ada satu set peralatan tulis dilempar pula ke pangkuan kita. Lengkaplah sudah. Ya, tak dapat dipungkiri pedagang asongan memang menimbulkan ketidaknyamanan bagi penumpang. Apalagi dengan karakternya yang ‘maksa’ kalau menawarkan sesuatu. Tak heran kalau ada penumpang yang memilih untuk pura-pura tidur atau memalingkan pandangan ke jendela untuk mengacuhkan para pedagang asongan ini. Para sopir bis juga terkadang ‘gerah’ dengan ulah para pedagang asongan ini yang kadang menyulitkan penumpang untuk naik ke bis.
Dengan alasan mengganggu ketertiban umum inilah, Pemprov DKI dengan tegas melarang keberadaan pedagang asongan melalui Perda No. 8 tahun 2007. Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang menjadi pedagang asongan, menyuruh orang lain untuk menjadi pedagang asongan atau membeli kepada pedagang asongan. Bagi yang melanggar harus siap diganjar ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Di samping mengganggu ketertiban, keberadaan pedagang asongan juga dinilai mengandung potensi kriminal. Profesi pedagang asongan kerap kali diasosiasikan dengan tindak pencopetan dan beberapa motif kriminal lainnya. Salah satunya yang sempat marak terdengar adalah tentang para penjual minuman yang dicurigai menaruh obat-obatan dalam minuman yang dijualnya. Saat obat tersebut sudah bekerja, yang bersangkutan beserta rekan akan mencuri barang-barang bawaan si korban.
Sejujurnya, saya pribadi adalah orang yang sering merasa terganggu atau tidak nyaman dengan keberadaan pedagang asongan. Namun saya menaruh rasa hormat yang dalam atas harga diri dan kegigihan para pedagang asongan ini yang berdiri tegak melawan panas dingin hujan, berjuang demi hidup mereka. Menjadi pedagang asongan untuk menghadapi himpitan kesulitan ekonomi, bagi saya, adalah pilihan yang jauh lebih mulia dan terhormat daripada menjadi pengemis. Bahwasanya seseorang memiliki kemauan untuk berusaha mencari nafkah dengan jalan yang halal dengan segala keterbatasannya (pendidikan, skill, dll) merupakan sesuatu yang patut mendapat dukungan. Para pedagang asongan ini sesungguhnya telah menciptakan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri. Itulah mengapa kesamaan perlakuan terhadap pengemis dan pedagang asongan dalam Perda tersebut di atas sedikit mengusik nurani saya.
Keberadaan pedagang asongan memang selalu menjadi pro-kontra dalam konteks ‘mengganggu ketertiban umum vs mencari nafkah’. Karenanya, meskipun seringkali kita dengar ada operasi ‘penyapuan’ pedagang asongan dan adanya Perda yang melarang keberadaan pedagang asongan, jumlah mereka dari tahun ke tahun tidak berkurang, melainkan terus menjamur. Dengan karakternya yang ‘bandel’ dan tahan banting, pedagang asongan memang tak mudah untuk ‘dibasmi’. Pertanyaannya adalah apakah memang benar perlu pedagang asongan ‘dibasmi’?
Pedagang Asongan sebagai Bagian dari Underground Economy Indonesia
Pakar ekonomi dari University of Wisconsin-Madison, Edgar L. Feige, membedakan aboveground (formal) economy dengan underground (informal) economy dari segi kepatuhan terhadap peraturan yang ditetapkan institusi yang berwenang. Jika suatu aktivitas ekonomi memenuhi seperangkat peraturan yang berlaku, maka aktivitas tersebut tergolong aboveground (formal) economy, demikian sebaliknya. Feige mengklasifikasikan 4 (empat) kategori underground economy menurut aturan kelembagaan tertentu yang dilanggar, yaitu:
1)Illegal economy, terdiri dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang melanggar undang-undang hukum yang mendefinisikan ruang lingkup bentuk perdagangan yang sah.
2)Unreported economy, terdiri dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang menghindari aturan fiskal yang ditetapkan dalam hukum perpajakan.
3)Unrecorded economy, terdiri dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang menghindari aturan-aturan kelembagaan yang mendefinisikan persyaratan pelaporan badan-badan statistik pemerintah.
4)Informal economy, terdiri dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang menghindari biaya dan dikecualikan dari manfaat dan hak-hak yang tergabung dalam hukum dan peraturan-peraturan administratif yang meliputi hubungan-hubungan properti, lisensi komersial, kontrak kerja, keuangan kredit dan sistem keamanan sosial.
Informal economy atau yang lebih dikenal dengan sektor ekonomi informal memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian negara berkembang. Ukuran dari ekonomi informal ini adalah pendapatan agregat yang dihasilkan oleh agen-agen ekonomi yang beroperasi secara informal. Para pelaku ekonomi di sektor ini pada umumnya tidak memiliki legalitas usaha komersial dan tidak berbadan hukum, tidak memiliki perjanjian kerja, tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tempat pekerjaan yang tidak permanen dan tidak memiliki sistem keamanan kerja (job security), tepat bekerja yang tidak ada status permanen atas pekerjaan tersebut dan unit usaha atau lembaga yang tidak berbadan hukum. Sektor informal ini memiliki kecenderungan meningkat pada masa krisis ekonomi, dipicu pula oleh ketersediaan lapangan pekerjaan di sektor formal yang terbatas.
Menurut Kajian Evaluasi Pembangunan Sektoral oleh Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, yang termasuk dalam kategori sektor informal adalah status pekerjaan utama berusaha sendiri, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non pertanian dan pekerja keluarga/tak dibayar. Sedangkan yang termasuk dalam kategori sektor formal adalah buruh/karyawan/ pegawai, buruh dibayar dan buruh tidak dibayar. Dari data tersebut di atas, terlihat bahwa jumlah pekerja di sektor informal pada Agustus 2010 adalah sejumlah 50.742.395 atau sebesar 46,89% dari seluruh tenaga kerja di Indonesia. Hal ini dengan sangat gamblang mengindikasikan bahwa peran sektor informal dalam penyerapan angkatan kerja bisa dibilang setara dengan sektor formal. Memandang kontribusinya dalam perkembangan perekonomian negara, sudah sewajarnya Pemerintah bersikap ‘adil’ dalam pembinaan dan pengembangan sektor informal.
Dari berbagai studi dan kajian ekonomi, upaya mem’formal’kan sektor informal nampaknya juga merupakan solusi yang dilematis dan tidak mudah diterapkan. Mungkin yang diperlukan adalah langkah untuk menata agar para pelaku sektor informal ini lebih terarah dan terorganisir, namun tidak melalui regulasi yang birokratif dan tidak praktis yang justru berpotensi mematikan sektor informal dan membawa komplikasi lain akibat jumlah pengangguran dan kemiskinan.
Pedagang asongan sebagai salah satu pelaku aktivitas ekonomi di sektor informal turut menyumbangkan kontribusi besar bagi perekonomian nasional dengan menyerap tenaga kerja, mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Mereka pun menjadi stimulan muncul dan berkembangnya usaha-usaha mikro dengan menjadi penyedia/supplier barang-barang dagangan yang dijajakan pedagang asongan. Peluang ini pun mulai dilirik oleh kalangan industri menengah. Produsen minuman, koran atau rokok, misalnya, mulai banyak yang memanfaatkan pedagang asongan sebagai tenaga pemasar yang dapat secara langsung menyentuh konsumen.
Menyikapi fenomena menjamurnya pedagang asongan, diperlukan kebijaksanaan dan kehati-hatian untuk mengambil langkah yang tepat guna meminimalkan efek negatifnya (seperti kemacetan, kesemrawutan, pemandangan yang tidak sedap dipandang mata, dll) dan di sisi lain, mensupport kontribusi positifnya sebagai salah satu penggerak sektor informal di Indonesia.