Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Reshufle ‘Ala’ Kompromi

3 Agustus 2016   21:19 Diperbarui: 3 Agustus 2016   21:35 270 0
Presiden Joko Widodo mengumumkan perombakan kabinet yang kedua atau lazim disebut dengan reshuffle kabinet, pada 27 Juli 2016, di Istana Negara. Pembahasan dalam artikel ini bukan pada profil menteri – menteri yang masuk atau keluar dalam kabinet, namun dari sudut pandang kekuasaan politik presiden. Jelaslah bahwa di dalam Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 17 Ayat 2 menyatakan bahwa Menteri – Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, secara tidak langsung tersirat bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan mempunyai hak khusus untuk mengangkat dan memberhentikan menteri – menteri sesuai kehendaknya. Jelaslah, bahwa konstitusi (Undang – Undang Dasar 1945) memberikan kekuasaan yang sangat kuat bagi Presiden untuk menentukan siapa yang menjadi pembantu – pembantu nya dalam rangka mengemban amanah yang diberikan oleh rakyat. Namun, faktanya kekuatan (power) atau kewenangan (authority) yang diberikan oleh konstitusi secara tekstual tidak mampu ‘dikontekstualkan’ oleh Presiden Joko Widodo. Terdapat beberapa nama menteri yang mempunyai posisi ‘tawar’ yang kuat karena adanya ‘invisible hand’ atau dapat disebut ‘the second actor’ selain Presiden yang mampu mendapatkan aliran kekuasaan dari Pasal 17 Ayat 2 tersebut. Hal ini menjadi permasalahan penting, mengingat hal ini dapat berada dalam ranah pelanggaran konstitusi, walaupun mungkin termasuk dalam skala kecil. Dalam tatanan hukum, dapat diartikan dalam bahasa yang lebih sederhana, jikalau seseorang selain daripada Presiden yang dapat mempengaruhi atau mengatur mengenai pengangkatan dan pemberhentian menteri – menteri, itu merupakan potensi pelanggaran konstitusi, dan telah masuk wilayah hukum.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun