Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

9 Dosa Jurnalis Dalam Peliputan Terorisme*

7 Juli 2011   03:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:52 673 3

1. . Mengandalkan Satu Narasumber Resmi

Dalam peliputan isu terorisme, seringkaliwartawan memang kesulkitan mendapatkan narasumber tangan pertama―yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri―yang bersedia berbicara panjang lebar sebagai informan primer. Dalam situasi kusut masai setelah ledakan bom, biasanya semua saksi kunci dengan cepat dikarantina oleh polisi, untuk diinterogasi.

Dengan situasi seperti itu, seringkali jurnalis lebih memilih mengandalkan keterangan hasil konferensi ppers dari kantor mabes polri. Tanpa ada upaya untuk lebih mendekatkan diri pada narasumber primer, atau sumber yang lebih mendekati narasumber primer untuk mendapatkan data-data yang akurat dan factual. Sulitnya memperoleh narasumber primer di lapangan, bukanlah alasan untuk tidak memberikan informasi yang berimbang (cover both sides).

2.Lalai Melakukan verifikasi

Awal Agustus 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninjau Sekolah Calon Tamtama Resimen Kodam Siliwangi di Pangalengan, Jawa Barat. Ketika memberikan sambutan, presiden malah bercerita soal laporan polisi tentang ancaman pembunuhan atas dirinya.

Keesokan harinya, sepotong pernyataan presiden ini kemudian menjadi kepala berita dimana-mana. Tanpa melakukan cross-check maupun check and recheck, hampir semua media memampangkan besar-besar berita tentang ancaman pembunuhan yang diterima presiden ini. Koran Tempo menulis ,”Presiden Mengaku Lagi Ada Ancaman Teroris.” Sementara Kompas memasang judul nyaris serupa: “Lagi Presiden Diancam Teroris.”

Sayangnya, kebanyakan berita itu hanya bersumber dari pidato SBY. Tidak ada upaya untuk mencaritahu kebenaran kabar yang disampaikan presiden, dan seperti apa rencana detail pembunuhan presiden yang dikhawatirkan itu.

3.Malas Menggali Informasi di Lapangan

Wartawan lebih senang menunggu ‘bola matang’ dari mulut penyidik polisi atau bantahan dari pengacara, pembela tersangka. Mereka biasanya merasa cukup dengan menanti di mabes Polri atau rumahsakit, sampai ada perwira polisi, keluarga korban, atau dokter yang berbaik hati membagi informasi soal perkembangan penyidikan.

Masalahnya, dengan bekerja seperti itu tak banyak informasi baru yang bisa digali. Para narasumber tentu tak akan mau sembarangan membuka fakta-fakta sensitive yang sedang mereka kerjakan kepada semua jurnalis.

4.Lalai Memahami Konteks

Sebagian besar jurnalis enggan menambah pengetahuan tentang terorisme. Padahal pengetahuan itu sangat penting agar jurnalis memahami konteks masalah saat meliput. Saat ini banyak jurnalis meliput terorisme bahkan tak mendalami pro-kontra dan konteks seputar serangan peristiwa 11 September 2001, peledakan menara kembar World Trade Centre di New York, Amerika Serikat. Padahal tragedy ini yang menjadi pemicu perang global Amerika dan sekutunya memburu teroris. Seharusnya sejarah konflik ini terus menerus disiarkan, untuk memberikan konteks pada peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan.

Salah satu dampak paling nyata dari ketidakpahaman jurnalis ini adalah media massa kurang perhatian pada isu-isu deradikalisasi teroris. Karena wartawan seringkali hanya memperhatikan ujung dari sebuah gerakan terorisme, yakni ketika bom meledak, atau kantor pemerintahan diserbu, mereka luput menganalisa bagaimana sebuah gerakan terorisme berawal.

5.Terlalu Mendramatisasi Peristiwa

Liputan sepanjang 17 jam seputar pengepungan buron teroris, Noordin M Top di Temanggung, Jawa tengah, Agustus 2009 kerap dijadikan contoh buruk bagaimana media mendramatisasi sebuah peristiwa faktual. Liputan tersebut dilakukan oleh sejumlah stasiun televise swasta. Publik dibuat tercekam tiap detiknya. Tapi ketika liputan berakhir, publik justru tidak mendapatkan informasi apa-apa. Misalnya soal siapa sebenarnya yang sedang dikepung di Temanggung itu?

Dalam liputan penguburan duo pengebom yang dieksekusi November 2008, Amrozi dan Mukhlas misalnya. Sejumlah media memberitakan soal kemunculan beberapa burung terbang melayang di atas kuburan keduanya. Jurnalis menambah efek dramatis dari berita soal burung itu dengan mewawancarai sejumlah sumber yang menjelaskan bahwa kemunculan burung itu menandakan para pengebom itu sudah mati syahid.

6.Tidak Berempati Pada Narasumber

Akhir November 2008, ketika hampir semua media di Indonesia memfokuskan liputannya ke desa Tenggulun, desa kelahiran trio pengebom Bali―Amrozi, Mukhlas dan Ali Imron―itu. Ketika itu dua terpidana yang mendalangi pengeboman di Bali itu dieksekusi mati dan jenazahnya akan segera dibawa ke Lamongan.

Keluarga Amrozi jelas merasa tertekan menghadapi liputan yang begitu gencar. Puluhan jurnalis, dalam dan luar negeri, menginap di desa itu, mengikuti kemanapun anggota keluarga Amrozi melangkah. Tak heran, setelah beberapa hari, sikap penduduk desa Tenggulun berubah menjadi dingin. Mereka terusik oleh liputan media yang bak sirkus di kawasan tempat tinggal mereka.

7.Menonjolkan Kekerasan

Dalam liputan ledakan bom di Hotel JW Marriot dan Rtz Carlton 17 Juli 2009, banyak media yang terlalu menfokuskan liputannya pada aspek kekerasannya saja. Sejumlah televisi terus menerus menayangkan gambar korban-korban ledakan bom JW Marriot secara berulang-ulang.

Seorang pengamat media Arya Gunawan mengatakan, jika public tak henti-hentinya diterpa dengan informasi semacam itu, maka lama kelamaan masyarakat bisa tidak peka lagi, dan kehilangan empati.

Menurut teori kultivasi George Garbner, tayangan kekerasan di media bisa menimbulkan dua dampak. Pertama, public jadi terbiasa pada kekerasan. Kedua, bisa jadi public akan beranggapan penyelesaian masalah dengan kekerasan sebagi hal yang biasa saja.

8.Tidak Memperhatikan Keamanan dan Keselamatan Diri

Maret 2010, produser TvOne Ecep Suwardani Yasa membuat sebuah liputan yang sangat menghebohkan. Ia mendapat bocoran dari Densus 88 Antiterorisme yang akan menyerbu sebuah kamp pelatihan teroris di Bukit Jalin, Jantho, Aceh besar. Yang menghebohkan bukan saja karena berita itu benar-benar actual dan mengguncang public, tapi juga karena penampilan Ecep di depan kamera yang menggunakan rompi anti peluru dan helm besi.

Sekelompok jurnalis Aceh menyesalkan tindakan Ecep. Menurutnya, penggunaan peralatan pengaman seperti itu mengingatkan rakyat Aceh pada konflik berkepanjangan antara pemerintah Jakarta dan GAM.

Di Indonesia, jurnalis dengan gagah berani mendekati lokasi baku tembak antara polisi dan tersangka teroris, masuk ke bangunan yang baru saja dilanda ledakan bom tanpa mengindahkan keselamatan jiwanya sendiri. Sesuatu yhal yang sangat disayangkan.

9.Menyiarkan Berita Bohong

Koran Jawa Pos edisi tanggal 3 Oktober 2005, tepatdua hari setelah serangkaian pengeboman terjadi di Jimbaran dan Kuta Bali menyertakan sebuah artikel berjudul, “Kasihan, Warga Tak Berdosa Jadi Korban.” Artikel yang ditulis oleh seorang jurnalis Jawa Pos bernama Rizal Husen itu menyertakan sebuah wawancara eksklusif dengan Nur Aini, istri dari Dr. Azahari. Wawancara dilakukan melalui telepon oleh jurnalis Jawa Pos itu karena Nur berada di Johor, Malaysia. Jawa Pos mencantumkan kalimat “Wawancara eksklusif” di artikel tersebut.

10 November 2005, beberapa hari setelah Azahari tewas, Jawa Pos kembali mempublikasikan wawancaranya dengan Nur Aini dengan judul “Isteri Doakan Azahari Mati Syahid.” Tak ada yang aneh dengan wawancara itu kecuali satu fakta penting: Rizal dan redaksi Jawa Pos tidak mengetahui bahwa Nur Aini sama sekali tidak bisa berbicara. Perempuan itu menderita penyakit kanker thyroid yang membuat pita suara di tenggorokannya menjadi terganggu.

Kebohongan Rizal semakin jelas terlihat saat TransTv memperlihatkan fakta yang sesungguhnya. Dalam tanyangan TransTv itu, diperlihatkan bahwa Nur Aini hanya bisa berkomunikasi lewat tulisan tangan. Melihat fakta yang terang benderang bahwa jurnalis mereka telah melakukan kebohongan publik, tim ombudsman Jawa Pos pun cepat bertindak.

Kepada tim Ombudsman, Rizal sendiri mengaku tak punya itikad jahat. Ia hanya ingin Jawa Pos menjadi media terdepan dalam liputan terorisme.

*dikutip dari buku Panduan Jurnalis Meliput Terorisme yang ditulis oleh Tim Aji Jakarta dan diterbitkan oleh FES (Friedrich Ebert Stiftung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun