Sawangan (19/7) Sebelum UU TPKS disahkan, maraknya kabar di media sosial mengenai kekerasan seksual seringkali dibaluti dengan reaksi yang tidak sewajarnya. Saat ada satu individu yang menceritakan pengalaman traumatisnya dan berhadap mendapatkan keadilan, masyarakat justru lebih cenderung untuk tidak mempercayainya dan menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya. Hal tersebut pun tidak hanya membuat posisi moral korban lemah di mata konstitusi, tetapi juga di mata sosial. Namun, bersamaan dengan disahkannya UU TPKS pada 12 April 2022, korban kekerasan seksual kini memiliki payung hukum di konstitusi dan layanan pengaduan oleh beberapa lembaga. Momentum tersebut juga sepatutnya diikuti pada spektrum sosial dengan pembenahan reaksi dan sikap masyarakat terhadap korban kekerasan seksual. Hal ini didasari oleh stigma masyarakat terkait korban kekerasan seksual yang masih keliru. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa korban kekerasan seksual adalah perempuan. Namun, sebenarnya kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja tidak berdasar kepada gender, umur, ataupun orientasi seksualnya. Dengan ini, stigma masyarakat harus diubah bahwa tanggung jawab kita adalah untuk melindungi dan menghormati semua kalangan, tidak terkecuali pada gender tertentu.
KEMBALI KE ARTIKEL