Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Bunuh Diri

5 Januari 2014   19:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:07 375 0

Bagi Islam, juga agama lain, bunuh diri itu menyesatkan; sesat. Manusia mengakhiri kematian lewat jalan pintas; "pintu dapur". Hak mati yang diukur Tuhan belum tiba, nyawa diregang paksa dari raga.

Peristiwa bunuh diri, lazimnya, tak cuma terjadi di Tiongkok. Di Indonesia, perilaku sesat itu rata-rata menyihir kelompok marginal; Gara-gara utang;  tertekan perasaan keluarga, teman, atau siapa saja. Gara-gara pekerjaan;  diskriminatif; menanggung malu;  putus cinta;  cintanya ditolak, pun seseorang nekat bunuh diri.

Bunuh diri, di ujung gendang telinga, atau segampang lidah melafaskan, sudah hal biasa. Manusia tak lagi menimbang rasa antara keinginan setan dan dosa. Manusia cenderung berbudak nafsu sehingga bunuh diri dianggap lumrah.

Baru-baru ini, seorang remaja di Sumatera Utara, tetangga satu kelurahan dengan saya, nekat mengakhiri hidupnya, meneguk racun serangga; Tiodan. Tak ada tanda di ujung hidup remaja itu. Dia baik, ramah, bersahaja, tapi pendiam, jika tidak disebut pemalu. Cuma secarik kertas jadi bukti sejarah kelam hidupnya, juga dosanya kepada orang tua dan Tuhan. Semoga Tuhan mengampuni.

“Maafkan saya, jika selama hidup ada salah sama Bapak dan Mamak….”Gleek, Tiodan ditenggak, nyawa Si remaja meregang; meninggal; memilukan; memalukan semua keluarganya.

Jejaknya dikenang keluarga hingga sekarang; Hingga Si remaja itu memilih suicidegara-gara berutang pada temannya. Dia tak sanggup membayar, memendam rasa malu tak terkira, sendiri, tanpa berbagi dengan keluarga. Menyedihkan!

Mati bunuh diri bisa menimpa siapa saja. Kita, anak kita, keluarga, sahabat, tetangga, bahkan orang-orang yang kita kasihi. Bunuh diri, jika gelap, bukan kuli yang bisa dilarang, juga bukan majikan yang tak pantas disuruh. Bunuh diri persoalan sensitifitas persentuhan titik nadir. Cuma keimanan dan religius basic seseorang yang bisa menantang “drakula” menjijikkan itu.

Jika di Tiongkok penyebab mati bunuh diri karena depresi; gangguan jiwa; muram, sedih, perasaan tertekan dan sebagainya, apa bedanya di Indonesia! Stres selalu menjadi tumbal bunuh diri. Keterbatasan tampungan hati, ketersinggungan perasaan, keterhimpitan urat malu, juga ambil bagian alasan mengepa seseorang bunuh diri.

Bunuh diri, spekulatif. Manusia (korban)—sobek perasaannya—tak bisa menjadi hakim bagi dirinya. Intuisi, angka-angka spiritual yang ada dalam diri sejak lahir, tergadai cuma karena bisik nafsu. Ya, nafsu setan.

“Budaya” silent feeling; diam merasakan di kalangan remaja harus ditolak, diabaikan. Hatimu, keimananmu bisa sekuat baja—setegar karang—jika kendali batinmu berlatar agama; spiritualistik. Tengok sekelilingmu, katakan persoalanmu, pasti ada solusinya!

Malu, sakit hati, beban, atau apa saja berbau keduniawian, tak pantas ditukar nyawa, terlalu mahal untuk itu. Persoalannya, semua problem hidup bersumbu dari kita memulai; niat. Jika Anda mengawali sesuatu perbuatan dari niat A, tak mungkin berakhir Z. Dimulai dari niat buruk, tak mungkin berakhir baik. Anda tanam semangka, tak mungkin berdaun sirih. Itu cuma terjadi di lirik lagu Broery Pesolima, atau urutan lazim alpabet—dimulai dari A, berakhir dengan Z.

Dilema bunuh diri Tiongkok adalah wajah buram manusia gelap hati. Tapi, siapa mengira Adolf Hitler (1889-1945), pendiri Nazi Jerman, “mesin pembunuh” berwajah manusia, dikabarkan mati bunuh diri bersama kekasih gelapnya, kemudian dinikahi, di sebuah bungker. Di sini sumbernya: http://id.wikipedia.org/wiki/Adolf_Hitler

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun