Di sinilah, aku mendapatkan ketenangan batin dalam kesendirian saat menikmati secangkir kopi tanpa gula.
Sengaja aku memesan kopi tanpa gula agar rasa kopi yang dikenal pahit dan sedikit asam ini terasa, seperti hidup yang kutelan saat ini.
Kutenggak kopi sedikit demi sedikit, meresapi pahit dan asamnya kopi yang menumpang permisi di lidah.
Getir? Tidak, aku sudah terbiasa dengan kepahitan hidup, terutama tentang pahitnya hubungan kita yang mulai tak ada kepastian.
Sedikit sekali rasa manis yang kurasakan, seperti halnya kisah indah kita yang hanya berlangsung sebentar.
Kamu dulu pernah hangat dan membuat hati ini tertambat, susah untuk lepas meskipun hanya sesaat.
Kehangatanmu itulah yang pernah kurasakan beberapa tahun lamanya, sebelum mulai menjadi dingin.
Namun, aku tidak tahu mengapa sikapmu kini perlahan mendingin, ada yang salah padaku?
Kalau ada, mengapa tidak langsung kamu katakan saja padaku apa yang salah padaku agar bisa memperbaiki diri?
Mengapa kamu bilang kalau tidak suka dengan sesuatu yang ada dalam diri ini, malah mulai menjauh?
Aku tidak membuatmu mendingin, justru dirimu sendiri yang membuatmu belakangan ini menjadi dingin.
Berkabar saja tidak pernah, apalagi berbagi kasih dan kehangatan, sudah sangat tidak pernah lagi.
Karena sikapmu yang mulai mendingin, aku mulai mendingin juga, sudah lelah untuk menunggumu kembali hangat.
Jadi, jangan salahkan aku yang kini mendingin, kamu tahu, secangkir kopi pernah hangat, tetapi justru dirimu biarkan.
Seperti ini yang kualami saat ini, kopiku perlahan mendingin saat kubiarkan untuk hanya memikirkanmu yang kini entah di mana dan bagaimana.
Kopi yang mendingin ini masih bisa kunikmati, tetapi sikapmu yang mendingin tidak bisa kusinggahi lagi hatimu.
Silakan pergi, hati ini tidak ada bedanya dengan kedai kopi, bukan rumah yang bisa kamu tinggali berlama-lama.
Aku tahu, kamu tidak lagi menginginkanku, pergi saja, akhiri saja hubungan ini, aku tidak mau kita menggantung.
Karena aku yakin kamu pasti menginginkan yang lebih dari aku, wajar jika kamu enggan menganggapku lagi.
Biarkan aku di sini, di kedai kopi tersepi di pinggir kota sambil menikmati kopi terpahit yang sudah tidak lagi hangat seperti hubungan kita saat ini: dingin.