Kata orang, mengikhlaskan itu mudah, ia seperti membalikkan telapak tangan: tidak ada kendala sama sekali.
Kata orang, mengikhlaskan itu mudah, karena yang baru akan selalu ada dan pasti lebih baik dari yang dulu pernah ada.
Itu kata orang, tapi kataku, mengikhlaskan itu sulit, sampai kapan pun akan terasa sangat sulit untuk mengikhlaskan.
Tidak selamanya aku bisa kuat dengan kehilangan, sekali saja sudah menyakitkan, apalagi berkali-kali.
Kalau orang lain semakin dewasa dengan luka kehilangan, aku semakin terluka saat dewasa karena kehilangan.
Kalau kata orang mengikhlaskan itu seperti membalikkan telapak tangan, bagiku bak membalikkan telapak tangan gajah.
Perkara kehilangan bukan hal yang mudah untuk mengikhlaskan, ada yang harus menepi untuk menangis sejadi-jadinya.
Bagiku, kehilangan demi kehilangan membuatku enggan untuk memiliki lagi karena ujung-ujungnya adalah kehilangan.
Kebanyakan orang, pasti akan ada pengganti yang dulu pernah ada, tetapi bagiku tidak pasti ada.
Yang menjadi pertanyaan terbesarku, apa selalu harus ada pengganti dari orang yang sudah pergi?
Lalu, apakah penggantinya jauh lebih baik untukku? Juga, apa haruskah aku untuk terluka lagi karena kehilangan?
Semakin memiliki rasa untuk memiliki, semakin besar konsekuensi untuk kehilangan dan melepaskannya pergi.
Luka yang masih menganga di batin ini masih sering kambuh dan selalu mengerang sakitnya rasa cinta itu.
Rasa sakit itu mengingatkanku tentang konsekuensi mencintai: harus siap kehilangan dan merelakan.
Itu sebab aku hingga kini masih enggan dengan dunia cinta, apalagi soal drama dan problematika di dalamnya.
Lebih baik aku untuk menghindar dari masalah daripada harus berhadapan dengannya tetapi gagal.
Lebih baik juga aku untuk tidak pernah saling kenal dari awal daripada berujung pada perpisahan, lebih-lebih akhir ceritanya tragis.
Semua pengalaman pahitku memberikanku arti betapa sakitnya cinta dan segala masalah di dalamnya.
Luka ini susah disembuhkan, satu-satunya pereda adalah tidak mau berurusan dengan cinta lagi seumur hidupku.