Mudik saat lebaran ini sangat berbeda dengan mudik di hari libur panjang biasa apalagi long weekend.
Mudik lebaran sangat spesial karena menjadi momen kembali bersilaturahim dengan orang tua atau keluarga.
Sering kali mereka yang pulang kampung dalam rangka hari raya lebaran ini dimanfaatkan sebagai momen bermaaf-maafan.
Mengapa budaya ini bisa tumbuh? Ini ada kekelliruan penafsiran 'Fitri' dalam hari raya tanggal pertama pada bulan Syawal ini.
Sebenarnya, penggunaan yang tepat adalah Id Al Fithr ( ) yang diartikan sebagai 'kembali berbuka' atau 'kembali makan siang', bukan 'kembali suci' (bedakan dengan bentuk Fithrah ).
Kita lupakan sejenak perbedaan penggunaan kata dalam bahasa Arab tersebut, tetapi kenyataannya sudah terlanjur diartikan 'kembali suci'.
Banyak orang yang memutuskan untuk mudik lebaran untuk bertemu keluarga besar di kota asal.
Ada yang mudik dengan kendaraan pribadi seperti mobil atau motor (khusus motor, ini tidak disarankan) dengan alasan kepraktisan dan barang bawaannya banyak (bukan untuk pamer).
Namun, ada juga yang harus menggunakan transportasi umum, seperti kereta api yang menjadi primadona atau pesawat jika kota asalnya beda pulau.
Pasti sudah menjadi kebiasaan tahunan, Kementerian Perhubungan RI sibuk memfasilitasi kendaraan umum termasuk regulasi libur lebaran, sarana dan prasarana, dan regulasi penjualan tiket.
Tentang penjualan tiket, semua pasti berebut, atau dalam istilah kekinian disebut 'war tiket'.
Konsep 'war tiket' sebenarnya berasal dari tradisi beli tiket transportasi umum dalam rangka mudik lebaran, meskipun istilah tersebut pertama kali populer di lingkup konser musik.
Tidak sedikit yang rela melewatkan waktu lainnya hanya untuk tiket perjalanan pulang ke kampung halaman, begitu pula untuk perjalanan kembali ke perantauan.
Kekecewaan muncul jika mereka kalah 'war tiket', tetapi ini bukan masalah karena Kementerian Perhubungan RI atau perusahaan tertentu mengadakan mudik gratis.
Mungkin yang besar dan hidupnya di kota yang sama, ini menjadi keuntungan tersendiri karena tidak pusing 'war tiket'.
Begitu dahsyatnya efek lebaran sampai banyak yang mengorbankan segalanya asal bisa berkunjung ke orang tua atau keluarga di kota asal.
Memang, menyambung silaturahim sangat penting dan banyak yang beranggapan harus bertemu langsung meskipun teknologi komunikasi sudah mengalami kemajuan.
Meksipun teknologi sudah maju, bertemu secara empat mata tetaplah menjadi bentuk komunikasi yang sempurna meskipun terkesan kuno.
Jadi, tahun ini apakah Anda pulang ke kampung halaman atau tidak bisa karena kalah 'war tiket' atau ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan?