Meskipun sehancur-hancurnya hari-hariku, melihatmu tersenyum saat kita bertemu atau di dunia maya, aku merasa tenang.
Bahkan, aku pernah punya anggapan bahwa dunia boleh hancur, tapi hatimu jangan sampai hancur.
Meskipun tidak saling memiliki, setidaknya kalau kamu senang, aku juga ikut senang dengan apa pun yang kamu alami.
Bahkan, aku sering menyembunyikan rasa sedihku agar kamu tidak ikut sedih saat melihatku sedih.
Justru aku berusaha untuk menguatkan diri agar terlihat bahagia agar kamu ikut bahagia ketika melihatku bahagia.
Aku sengaja membohongi diriku sendiri agar pikiranmu tidak ikut terbebani karena aku, kuyakin hidupmu sudah berat tentunya.
Aku harus memasang topeng yang berat daripada kamu harus ikut menderita, biarkan aku saja.
Kalau aku sedih dan kamu turut sedih, lantas siapa yang akan membuatku kembali pulih dan bahagia selain dirimu?
Memang, aku sengaja menderita dan menanggung kepiluan ini sendirian, kuyakin ini tidak sampai mengganggumu.
Kalau tidak bisa ditahan lagi, aku harus menepi di suatu tempat dan menangis sekencang-kencangnya dalam kesendirian.
Namun, perlahan kamu mulai jarang untuk berbagi kebahagiaan, bahkan menyapa saja tidak terlalu sering.
Aku sempat terpikirkan sesuatu, apakah kamu sudah lelah untuk menjadi alasanku untuk bahagia di hari-hari penuh luka?
Apakah kamu sudah bosan denganku yang terus menjadikanmu sebagai alasanku tetap bisa tegar di hari-hari penuh getir?
Hingga kusadari, dirimu memutuskan untuk tidak lagi menjadi hangat untukku, dan mencampakkanku begitu saja.
Mungkin, aku salah menganggapmu sebagai alasanku tetap bahagia dalam hidupku ini, kalau begitu maafkan aku.
Jika kamu harus pergi, aku susah untuk melepaskanmu begitu saja, terlebih kita belum sempat saling memiliki.
Kamu tahu, tanpamu bagaikan dari foto dengan sejuta warna berganti menjadi foto dengan hanya hitam dan putih.
Seolah-olah, kamu memilih untuk tidak lagi menginginkanku untuk saling memiliki sebagai sumber kebahagiaan abadi.
Suatu saat nanti, kamu akan bahagia, tetapi bukan aku yang membuatmu bahagia, melainkan orang lain.
Kamu harus tahu, senyuman bhagiamu di pelaminan bersama pria yang kamu cintai adalah deritaku dan seburuk-buruknya senyuman yang pernah kulihat seumur hidupku.
Ajari aku cara menghentikan kebiasaanku untuk menjadikanmu alasanku bahagia untuk selama-lamanya.