Sudah banyak penelitian yang membuktikan eksistensi masalah kesehatan mental dan ada algoritma penyembuhannya.
Terapi bisa dilakukan oleh psikolog apabila hanya masalah psikologis, seperti diajak mengobrol atau hipnoterapi.
Sedangkan jika terindikasi ke gangguan sistem saraf, di sinilah psikiater dan dokter jiwa mengambil peran.
Banyak obat yang saat ini beredar (harus dengan resep dan kontrol ketat) untuk meredakan gangguan kesehatan mental.
Meskipun demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang menyangkal eksistensi kesehatan mental dan masalahnya.
Bahkan, ada yang menganggap masalah kesehatan mental seperti depresi, frustrasi, stres, bahkan hasrat ingin bunuh diri dikaitkan dengan kurangnya keimanan.
Saya pernah berniat ingin menceritakan masalah saya, malah dicap sebagai orang yang tidak beragama.
Apa yang orang-orang minta kepada saya? Banyak-banyak mengingat Tuhan, katanya saya kurang beribadah, begitulah.
Padahal, antara kesehatan mental beserta masalahnya dengan keimanan sama sekali tidak memiliki korelasi.
Gangguan kesehatan mental tidak pandang bulu, bahkan bisa terjangkiti oleh orang yang kadar keimanannya tinggi sekali pun.
Mau setebal bagaimana pun keimanan seseorang, pasti ada ambang batas tubuh menerima beban mental.
Lalu, apa yang menyebabkan seseorang mengidap masalah kesehatan mental? Jelas karena masalah hidup yang dihadapi terlalu menyakitkan dan di luar batas toleransi.
Anggapan gangguan kesehatan mental disebabkan lemahnya keimanan seseorang menandakan kesadaran terhadap isu kesehatan mental sangat rendah.
Bahkan, orang yang bunuh diri pun masih dihakimi sebagai pendosa karena tindakan tersebut dilarang oleh agama.
Mengapa orang Indonesia masih ada yang gemar menghakimi orang yang nekat bunuh diri daripada mengajaknya keluar dari keterpurukan?
Ya, masyarakat terutama yang mengaku religius masih menganggap isu kesehatan mental terlalu mengada-ada.
Sudah seperti kultur pada umumnya di Indoensia, sesuatu yang tidak ada hubungannya selalu dikait-kaitkan atau istilahnya cocokologi.
Pantas saja jika indeks kebahagiaan Indonesia dikatakan berada di ranking di bawah meskipun bukan sebagai juru kunci.
Bukan zamannya lagi menyangsikan kesehatan mental, melainkan peduli dengan kesehatan mental satu sama lain.
Ini sudah menjadi tugas kita semua untuk membuka pikiran seluruh masyarakat tentang eksistensi kesehatan mental.