Setiap manusia normal, pastinya ingin mendambakan kebahagiaan dalam membina rumah tangga.
Itulah tujuan utama pernikahan...
Brgitulah arti pernikahan yang kupahami menurut keyakinanku sampai sekarang.
Faktor ekonomi mungkin bisa ditaruh urutan yang ketigabelas, bukan berarti standart ekonomi yang sering dirujuk sebagai penopang kebahagiaan rumah tangga tidak penting, seperti; suami sudah bekerja, rumah siap huni ada, latar belakang pendidikan dan sebagainya.
Atau mungkin dalam falsafah jawa dilihat dari 'bibit, bebet, bobot', yang katanya sebagai dasar tolok ukur kebahagiaan dalam membina rumah tangga.
Pendapat diatas bisa benar bisa juga salah. Karena dalam perjalanan waktu, pada saat titik tertentu semua bisa berubah. Seperti batu cadas yang akhirnya berlubang, karena diterjang air sepanjang waktu.
Begitu pula kisah pernikahanku, yang kualami dengan seseorang, yang akhirnya putus ditengah jalan.
Sebenarnya aku tidak begitu tertarik untuk menikah dengan mantan suamiku ini. Tapi karena faktor umur dan setengah dijodohkan, aku tidak bisa menolak.
Lagipula dia denganku satu Almamater, jadi kalau masalah bibit, bebet, bobot sudah klir.
Umurku saat itu sudah dibilang cukup matang, untuk ukuran wanita dikampung 'wes wayahe' nikah, juga sudah lulus kuliah, jadi apalagi yang dicari...ya jelas suami yang mumpuni, kira-kira begitu pendapat trah keluarga.
Setelah menikah semua baik-baik saja, dia selalu sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan aku sibuk menjalankan peranku sebagai ibu rumah tangga.
Tapi perlu diketahui, selama menjalankan biduk rumah tangga 5 tahun, kami belum mempunyai momongan, dalam hal ini, aku sering disalahkan.
Padahal waktu itu belum terbukti secara ilmiah, siapa diantara kami berdua mengidap 'Infertilitas', alias tidak subur.
Walaupun kami berdua lulusan Perguruan Tinggi, tapi untuk memeriksakan ke Medis tentang hal tersebut dianggap kurang pantas. Yang menganggap kurang pantas dari pihak keluarga suami, akupun tidak tahu alasan mereka.