Sebagai warga negara yang baik, kita sudah cukup sabar dan tabah. Mungkin tidak ada masyarakat yang paling sabar dan tabah di dunia selain kita. Di negara-negara maju, yang bencananya setali tiga uang dengan daerah kita, mereka tidak sabar, tidak tabah. Buktinya, jauh-jauh hari sudah dibangunnya dinding pembatas di pantai, direlokasinya pemukiman warga, dibangunnya shelter secara masif, dan dimasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan antisipasi bencana. Pemimpinnya lebih banyak bekerja daripada bicara. Kita? Kita kan bangsa yang sabarnya lebih banyak berdoa daripada usahanya. Bagi kita, biarlah begini saja terus keadaannya, yang penting sabar dan berserah diri ke Tuhan, begitu pulalah yang selalu dihimbau sampai berbusa mulutnya oleh para pemimpin kita.
Ya, kita sudah over dalam bersabar. Meskipun pemerintah kota dan provinsi sudah lama obral janji akan melakukan segenap daya dan upaya untuk melindungi kita dari bencana. Katanya jalur evakuasi akan segera dibangun. Aneh, dari segi waktu mestinya tahun 2010 ini kita sudah dapat melihat secara nyata dan memakai pula jalan-jalan lebar yang disediakan khusus untuk evakuasi kalau-kalau ada gempa besar dan ancaman tsunami datang. Buktinya, lagi-lagi pemimpin kita selalu menjawab dengan menyelipkan kata segala “akan” dalam pidato dan pernyataannya di media massa, eh ternyata tsunami datang dan memakan korban juga di Mentawai.
Padahal, kewajiban sudah kita tunaikan. Pajak sudah kita bayar, listrik, air, dan telepon selalu kita bayar tepat waktu, kadang kita utangi ke tetangga, asalkan kewajiban kita ke pemerintah lunas. Gotong royong pun kita selalu ikut. Kita adalah warga yang sabar, tabah, dan selalu menomorsatukan kewajiban sebagai warga negara, warga provinsi, warga kota.
Pertanyaannya, sampai kapan kita menunaikan kewajiban kita tanpa pernah mendapatkan hak-hak yang mestinya ditunaikan dalam rangka memenuhi kewajibannya oleh pemerintah kita, pemimpin kita. Sampai kapan jalur evakuasi benar-benar rampung, tanpa ada tetek-bengek. Sampai kapan rakyat menunggu langkah konkrit dari pemkot, pemkab, dan pemprov menyikapi bahaya bencana yang lebih besar, yang selalu diutarakan para ahlinya. Jangan salahkan rakyat yang akhirnya “mengambil-alih” lalu-lintas informasi berupa isu-isu yang tidak jelas asal-muasalnya. Jangan salahkan kami jika akhirnya kami “mendirikan” pusat informasi sendiri manakala pemerintah tidak pernah memberikan statement yang benar-benar menyejukkan dan penuh dengan solusi yang benar-benar ada buktinya di lapangan. Sebab, bagaimanapun hidup jalan terus, the show must go on.
Cobalah, buktikanlah dari sekarang, mulai dari sesuatu yang mendesak, menyangkut nasib banyak orang. Jangan banyak bicara dan rapat juga lagi. Kalau benar pemprov ada sense of crisis, harusnya lokasi ujian CPNS jangan ada yang diadakan di dekat pantai. Bukan apa-apa, bukan pertanda lemah iman atau bermental kerupuk. Alasannya logis saja: bagaimana akan full konsentrasi para peserta ujian yang jumlahnya lebih dari 5000 orang itu menjawab dengan tenang soal-soal ujian. Sudah memikirkan jawaban, yang pikiran buruk tentang gempa selalu juga mengganggu. Belum lagi pikiran sanak-saudara yang menunggui di luar lokal ujian
Apa yang akan dilakukan oleh pemprov jika benar-benar gempa datang saat ujian berlangsung 28 November nanti, sementara lokasi ujian di Universitas Bung Hatta tidak berapa jengkal saja jaraknya dari bibir pantai. Saya jamin, walaupun gempanya kecil, tapi jika terasakan, semua peserta dan panitia akan tabang hambur dari tempat duduknya. Alhasil, pelaksanaan ujian yang memakan dana tidak sedikit itu pasti akan kacau.
Untuk itu, cobalah buktikan ke kami sekarang juga, pindahkan lokasi ujian ke sekolah-sekolah atau Unand sekalian yang notabene jauh dari pantai. Sekarang waktu yang tepat membayar kesetiaan, kesabaran, kepatuhan rakyat dan mengubah paradigmanya bahwa negeri kita ini bukan negeri serba akan, manakala pemimpinnya selalu berjanji akan begini akan begitu, sementara bencana sudah pasti akan tiba, tanpa pandang waktu dan korban. Naudzubillah!***