Lahirnya kekerasan sering kali dikaitkan dengan personalitas yang otoriter. Pribadi yang memiliki karakter otoriter biasanya cenderung melakukan kekerasan fisik ataupun psikis kepada orang lain supaya kehendaknya terpenuhi.
Dalam hal ini, keluarga dan orang-orang dekat semenjak kecil menjadi referensi sentral pembentukan karakter pribadi seseorang. Jika orangtua atau yang bertindak sebagai orangtua cenderung otoriter, atmosfer yang terbentuk dalam keluarga-tempat seorang anak pertama kali belajar hidup-adalah atmosfer otoritarianisme dan ini menjadi kebiasaan sehari-hari sang anak. Keluarga otoriter dapat dikatakan merupakan agen utama yang mencipta sosok individu otoriter yang cenderung melakukan kekerasan.
Dalam fase selanjutnya, pribadi-pribadi otoriter akan masuk dalam kehidupan sosial. Biasanya mereka dikenal dominan, selalu berusaha memengaruhi atau memaksa orang lain untuk mengikuti kehendaknya. Kebanyakan korbannya adalah orang-orang yang kurang memiliki kepribadian yang kuat dan atau yang sedang dalam masa pencarian jati diri. Mereka lalu membentuk kelompok di mana otoritarianisme telah mendarah daging dan menjadi budaya kelompok.
Praktik otoritarian tidak hanya dilakukan oleh pemimpin, tetapi juga secara berjenjang hingga anggota-anggota yang berada pada struktur terbawah. Setiap anggota ini kemudian menularkan budaya otoritariannya itu kepada keluarga dan orang-orang di dekatnya.
Selanjutnya, kelompok-kelompok otoriter tersebut bekerja secara terorganisasi dalam masyarakat bagaikan virus yang menyebar. Karena sifat dasar ekspansif yang melekat dalam dirinya, kelompok-kelompok ini melakukan berbagai cara dalam rangka semakin memapankan eksistensinya. Berbagai upaya dilakukan, di antaranya menarik perhatian publik dengan melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan manuver-manuver politik yang diperlukan guna menguasai wacana publik.
Kelompok-kelompok ini semakin tumbuh subur jika, pertama, keberadaannya didukung oleh kekuatan-kekuatan politik besar, termasuk mereka yang menyokong pembiayaan kelompok semacam itu.
Kedua, tidak berfungsinya entitas utama pengatur tatanan sosial, dan pendukung moralitas publik anti-kekerasan yang dalam masyarakat modern adalah aparatus negara. Dan, menjadi semakin parah, dalam kasus ketika negara justru menciptakan, menyuburkan, dan atau beraliansi dengan kelompok-kelompok ini untuk kepentingannya.
Ketiga, tidak terdapatnya kontra-tindakan atau kontra-aksi yang cukup signifikan untuk mematikan virus kekerasan yang disebarkan. Artinya, tidak ada gerakan sosial anti-kekerasan yang cukup mampu untuk membendung penyebaran virus kekerasan di ranah sosial.
Jika situasi penyebaran virus kekerasan ini berlangsung terus-menerus, yang terjadi adalah frustasi dan patologis sosial. Ketika masyarakat anti-kekerasan tidak tahu lagi harus berbuat apa terhadap kekerasan, ketidakadilan, dan kesemena-menaan yang diterimanya setiap hari, bukan mustahil akan meledak konflik-konflik besar yang sarat kekerasan.
Kekerasan akhirnya dibalas dengan kekerasan karena filosofi anti-kekerasan dianggap tidak mampu untuk menyelesaikan masalah yang berarut-larut. Jika kondisi ini terus berlangsung, semakin mapanlah budaya kekerasan itu karena kekerasan telah menjadi cara legitimitas yang dipakai oleh masyarakat yang tadinya anti-kekerasan.