Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Tidak Punya Hati dan Lidah

22 Februari 2012   01:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:21 1392 0
Selain walisongo, wali yang dikenal di kalangan umat Islam Indonesia adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani. Bahkan beliau disebut sebagai raja waliullah. Banyak ajaran yang diberikan kepada murid-muridnya. Di antara ajarannya ada yang bertutur tentang kepribadian manusia. Menurutnya, manusia terbagi dalam empat golongan.

Golongan pertama, orang yang tidak punya lidah dan hati. Golongan ini pada umumnya tidak peduli pada kebenaran dan pentingnya amal perbuatan baik bagi manusia. Mereka hanya tunduk dan patuh pada indra fisik. Dengan kata lain, mereka selalu mengikuti ajakan dan bujukan hawa nafsunya.

Golongan kedua, orang yang punya lidah tetapi tidak punya hati. Golongan ini bicaranya baik, manis, dan menawan. Setiap orang yang mendengar ucapannya, pasti tertarik dan terpesona. Janji-janjinya melenakan. Tapi apa yang dia janjikan, tidak pernah ditepati. Golongan ini bsa disebut sebagai orang munafik. Dalam suatu Hadis Nabi Muhammad mengungkapkan tanda-tanda orang munafik ada tiga. Pertama, jika berbicara, bohong. Kedua, jika berjanji, tidak ditepati. Ketiga, jika dipercaya berkhianat. (H.R Bukhori Muslim).

Golongan ketiga, orang yang punya hati tetapi tidak punya lidah. Orang-orang golongan ini sadar akan kekurangan dan kelemahannya, sehingga berusaha secara sungguh-sungguh dan terus menerus mensucikan diri dengan banyak beribadah. Tapi saat melihat kebatilan dan kemunkaran, mereka memilih diam dan tidak berbuat apa-apa.

Golongan keempat, orang yang punya hati dan lidah. Inilah sebaik-baik golongan. Mereka memiliki pengetahuan umum dan agama yang sangat luas yang dilengkapi bimbingan dari Allah. Orang-orang golongan ini bukan saja rajin dan tekun beribadah shalat wajib yang lima waktu tetapi juga tidak pernah melupakan bangun tengah malam untuk shalat tahajud. Yang tidak kalah pentingnya, mereka secara konsisten menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.

Sebagai seorang muslim kewajiban kita bukan hanya beribadah untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga punya kewajiban lain yang harus dilaksanakan, yaitu mengajak orang lain berbuat kebaikan dan mencegah jika ada orang lain yang akan melakukan perbuatan yang dimurkai Allah.

Sebagaimana ditegaskan Allah dalam Al-Qur’an, “Hendaklah kamu tergolong umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh mengerjakan yang baik dan melarang perbuatan yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung (Al-Imron 104).

Apabila diteliti dan diamati firman Allah tersebut, maka terdapat dua hal penting yang perlu diketahui. Pertama, kata “Hendaklah kamu,” mengandung kata amar, yang berarti menyuruh atau memerintah. Kata amar juga mengandung arti keharusan dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika kita melaksanakan kewajiban menyuruh perbuatan baik dan mencegah perbuatan munkar, maka kita tergolong orang-orang yang beruntung.

Kedua, melaksanakan amar ma’ruf dan munkar hukumnya fardu kifayah. Artinya, kewajiban amar ma’ruf dan munkar menjadi gugur bagi muslim yang lain jika ada seorang saja yang melaksanakannya. Tapi sebaliknya, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakan, maka seluruh umat Islam yang berada di suatu kampung tersebut akan memikul dosa.

Bahkan Allah memberikan gelar sebagai umat yang terbaik bagi orang-orang yang secara rutin menyuruh perbuatan baik dan mencegah perbuatan munkar. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh perbuatan baik dan mencegah perbuatan munkar (Al-Imron 110).

Tapi bagi orang-orang yang tidak peduli saat melihat kemunkaran terjadi, maka Allah akan menimpakan siksanya bukan hanya pada segelintir orang, tapi seluruhnya akan merasakan. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud dan Tirmidzi, Qais bin Hazim mengatakan, Abu Bakar berdiri memuji Allah, kemudian mengatakan, “Saudara-saudara sekalian, sesungguhnya kami pernah mendengar Rasulullah bersabda, sesungguhnya apabila masyarakat menyaksikan kemunkaran, lalu mereka tidak merubahnya, maka Allah akan meratakan siksanya kepada mereka semua.”

Menyerukan perbuatan baik dan mencegah kemunkaran adalah salah satu tugas seorang muslim terhadap masyarakatnya. Jika melihat orang lain berbuat dosa atau melakaukan perbuatan maksiat lainnya, maka kita tidak boleh berdiam diri saja. Kita harus menasehatinya, memperingatkannya, dan mengajak agar mereka beribadah kepada Allah. Sebab, membiarkan perbuatan maksiat terjadi merupakan sikap tercela yang harus dihindari. Sungguh merupakan langkah yang baik jika kita mampu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Dari Usman R.A, mengatakan, “Aku menemukan kenikmatan beribadah dalam empat hal. Pertama, dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dari Allah. Kedua, dalam menjauhi segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Ketiga, dalam amar ma’ruf dan mencari pahala dari Allah. Keempat, dalam nahi munkar dan terpelihara dari kebencian Allah.

Yang dimaksud dengan ma’ruf adalah segala sesuatu yang dipandang baik menurut ketentuan syariat Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan munkar adalah segala sesuatu yang tidak diridhai Allah, baik yang berkaitan dengan perkataan yang diucapkan maupun perbuatan.

Bahkan orang yang beramar ma’ruf dan nahi munkar itu bisa menjadi ukuran beriman tidaknya seseorang. Dalam Al-Qur’an, Allah menjelaskan, “Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab ada golongan yang berprilaku lurus, mereka membaca ayat Allah beberapa waktu di malam hari. Sedangkan mereka juga bersujud (shalat). Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir (kiamat), menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, dan bersegera mengerjakan berbagai kebajikan. Mereka inilah orang-orang yang shaleh.” (Q.S Ali Imran 113-114).

Dalam ayat ini sudah jelas bahwa Allah tidak akan mengakui mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang baik hanya dengan semata-mata beriman kepada Allah dan hari akhir kecuali kalau keimanannya itu diiringi dengan mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang munkar.
Bagi orang-orang yang meninggalkan amar ma’ruf dan munkar, Allah menegaskan sebagai orang-orang yang telah keluar dari kriteria orang-orang yang beriman. Sebab mereka telah durhaka dan melanggar perintah Allah. Satu dengan yang lain, tidak berani melarang perbuatan munkar.

Allah juga mengingatkan, “Tatkala mereka melupakan apa saja yang telah diperingatkan kepadanya, maka Kami selamatkan bagi orang-orang yang mau melarang dari perbuatan munkar dan Kami timpakan siksa yang amat pedih bagi orang-orang yang selalu berbuat maksiat.”

Suatu hari istri Rasulullah, Siti Aisyah berkata bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Telah disiksa suatu penduduk kampung di mana di antaranya terdapat delapan belas ribu orang. Mereka berbuat sebagimana perbuatan para Nabi. Kemudian para shahabat bertanya, Mengapa siksaan itu bisa terjadi ya Rasulullah? Nabi menjawab, mereka tidak marah karena Allah, tidak menyuruh melakukan perbuatan baik, dan tidak mencegah kemunkaran.”

Pada suatu kesempatan Shahabat Abu Dzar Al-Ghaffari berkata, ”Bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiqi R.A pernah bertanya kepada Rasulullah, adakah jihad selain memerangi orang-orang Musyrik? Rasulullah menjawab, ada wahai Abu Bakar, bahwa Allah mempunyai pejuang-pejuang di bumi yang lebih utama daripada orang-orang yang mati syahid. Allah membanggakan kepada Malaikat lantaran perbuatan mereka itu. Bahkan langit dan surga berhias untuk menyambut mereka sebagaimana Ummu Salmah berhias diri untuk Rasulullah.”

Abu Bakar kemudian bertanya, ”Wahai Rasulullah, siapakah mereka itu? Nabi menjawab, yaitu orang-orang yang menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan munkar, berkasih sayang di jalan Allah dan bersikap marah di jalan Allah.”

Tapi kenyataan yang terjadi di masyarakat, banyak anggota masyarakat yang hanya melakukan kesalehan sendiri, yakni hanya mementingkan beribadah untuk sendiri, tetapi tidak peduli dengan kemaksiatan yang terjadi di lingkungannya.

Seorang muslim sejati seharusnya selain memiliki kepekaan pribadi juga kepekaan sosial, sehingga ia merasa tidak akan puas hanya dengan kesalehan pribadinya sendiri. Ia punya komitmen yang kuat untuk mentransfer kesalehannya kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Apabila masyarakat tidak peduli saat menyaksikan kemaksiatan atau kejahatan yang terjadi di hadapannya, maka Allah berhak memberikan azab kepada mereka. Membiarkan kemaksiatan dan kejahatan terjadi, maka sama halnya dengan persetujuan terhadap kemumkaran tersebut terjadi. Dengan begitu, orang yang setuju terhadap suatu kemunkaran, berarti ia terlibat dalam suatu dosa meskipun tidak melakukannya.

Terjadinya berbagai bencana di Tanah Air seperti gempa, tsunami, longsor, banjir, dan musibah lainnya bisa jadi karena kita selama ini membiarkan terjadinya pornografi, porno aksi, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), pemerasan, perjudian, perzinahan, dan kemaksiatan lainnya. ****

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun