Nasibku lebih beruntung, karena aku adalah sepatu gunung. Yah… paling tidak aku sudah banyak menjelajahi tempat-tempat dibumi dibanding barang bekas lain yang tinggal didalam lemari busuk ini. Aku sering menghibur mereka dengan bercerita tentang pengalamanku ketika saat-saat dulu pemilikku begitu menggebu menjelajahi hutan rimba. Cerita-ceritaku membuat mereka sedikit lebih nyaman berada disini. Walaupun harus aku akui, ada rasa getir ketika aku mengurai beragam peristiwa yang pernah kulalui dengan pemilikku. Rasa yang teramat sulit untuk aku ungkapkan. Terasakan namun tak terkatakan.
Dulu, aku selalu merasa sebagai benda yang paling beruntung dipermukaan bumi. Hidup terasa penuh dengan petualangan yang sangat mengesankan. Perjalanan kami seperti tanpa batas.
Aku masih ingat ketika pernah suatu ketika kami terjebak pada lembah yang seolah dipenuhi misteri lewat suara-suara angin gunung yang berbisik mendesis atau saat kami harus satu harian penuh melakukan orientasi disebabkan patahan yang membingungkan. Aku juga masih bisa mendengar jelas teriakan lepas pemilikku ketika aku berhasil menemaninya menjejakkan kaki pada puncak-puncak yang dihiasi pilar batu triangulasi.
Tapi itu dulu kawan…
Saat ketika aku begitu bergairah bercampur dengan lumpur. Saat aku tertawa melemah mencengkram serpihan batu. Saat pemilikku belum menggantikanku dengan sepatunya yang lebih necis dan fashionable serta melupakan kesederhanaan yang ditawarkan bukit batu yang sering dirindukannya dengan menggantikannya pada kehidupan hedonis yang gemerlap.
Aku tak pernah mengerti alasannya mengapa ia mengurungku disini. Padahal jika saja aku bisa memilih, aku ingin seperti cariernya yang berpindah tangan pada juniornya, atau seperti daypack itu yang dilego ditukang loak, atau matras yang disumbangkan pada mapala kampusnya, atau, atau, atau….
Paling tidak, aku ingin terus bertualang. Karena sebagai sepatu gunung aku ditakdirkan memiliki naluri petualang.
Tuhan… betapa aku menyimpan seribu rindu di bukit batu itu.