Beberapa waktu belakangan ini kita kembali disuguhkan perdebatan soal kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium. Ada keinginan (lama) dari Pemerintah untuk kembali melakukan rasionalisasi beban APBN guna mengurangi subsidi melalui kenaikan harga BBM. Keinginan Pemerintah untuk menaikan harga BBM bersubsidi jenis premium tentu saja mendapat reaksi dari pelbagai kalangan. Jelas, dalam perdebatan publik, reaksi yang muncul sangat dominan dari kalangan politisi. Baik yang memposisikan diri sebagai “koalisi” maupun oleh kelompok “oposisi”. Jika kita telisik lebih jauh, argumentasi yang disampaikan oleh kalangan politisi ini, tidak jauh berbeda dengan alasan-alasan yang disampaikan beberapa dekade belakangan ini yang berkaitan dengan isu kenaikan harga BBM. Tidak ada argumentasi yang baru yang disampaikan, baik oleh kalangan yang menolak maupun yang mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium. Semua argumentasi masih saja berkutat pada tema harga RON 88 di pasar dunia, subsidi yang tepat sasaran, penderitaan rakyat, melonjaknya harga bahan pokok akibat kenaikan harga BBM. Saya ingat salah satu komentar yang menurut saya perlu kita renungkan dalam menyikapi perdebatan soal BBM ini. “kita teriak-teriak menolak kenaikan harga BBM, tetap saja BBM harganya naik” demikian diungkapan oleh Tjahjo Kumolo (Sekjen PDI Perjuangan) dalam sebuah kesempatan.