Pagi itu, pukul 08.00 wib. Ketika kami beranjak meninggalkan markas besar Aliansi Warga Kelud (AWK) satu-satunya organisasi masyarakat yang masih konsen memperjuangkan hak-hak korban bencana. Berbagai elemen masyarakat bergabung dengan AWK dengan satu tujuan, meringankan beban masyarakat korban erupsi kelud termasuk menolong mereka sendiri.Masih segar dalam ingatan kami beberapa perkataan "ini adalah bencana kita semua, kita harus mengambil hikmahnya" celetuk camat puncu pada satu waktu. Pun juga kata satirin salah satu pejabat di kabupaten kediri "wes diopeni ambi ibu jek kurang ae (sudah dihidupi sama ibu bupati masih kurang aja), yang sempat memerahkan telinga bapak lugito salah satu perangkat desa. Juga pernyataan ibu bupati "kita sudah mengupayakan bantuan untuk korban bencana". Namun hingga hari ini semua masih belum terealisasi, mulai beasiswa, rehabilatasi dan rekonstruksi, pemulihan ekonomi hingga masalah kesehatan masih menghantui kami.Hari itu, tanggal 07 Agustus 2014, ketika kami berencana berkunjung ke pemerintah kabupaten kediri yang menjadi pemangku kebijakan bagi daerah kami kecamatan Puncu dan Kepung. Besar harapan kami untuk membantu pemerintah dalam menyelesaikan masalah bencana yang tak tahu sampai kapan akan berujung selesai. Dalam pikiran kami, semoga keterlibatan warga ini bisa meringankan beban ibu Bupati Kediri untuk mengambil kebijakan yang tepat. Sudah banyak program yang mangkrak karena tidak melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan, mulai dari embung, pengering cabe yang menghabiskan ratusan juta namun tidak bermanfaat sebesar nilainya.Bersama beberapa perangkat desa kami sampai di kantor kabupaten kediri. Semoga hari ini ada jalan keluar doa kami penuh harap. Kami mulai masuk kantor ibu bupati, oiya kebetulan bupati kami seorang perempuan bernama dr. Hariyanti, seorang dokter gigi. Nampak dihalaman kantor sebuah mobil satpol PP yang gagah beserta mobil innova hitam yang konon sering dipakai ibu bupati. Rasa sumringah tampak diwajah kami, berharap bisa ditemui dan memberi beberapa masukan.Di ruangan depan ada beberapa orang dalam kaca yang bertuliskan "tamu harap lapor". Kami pun meminta saran untuk menghadap ibu bupati, namun didepan ruang selanjutnya kami hanya mendapati seorang penjaga yang menanyakan maksud kedatangan kami. Ibnu namanya ia menjelaskan bahwa ada prosedur untuk bertemu bupati, "membuat surat resmi kebagian umum nanti akan dijadwalkan karena hari ini agenda ibu bupati sangat padat" jelasnya, namun mujiono salah satu dari kami mengatakan "bapak prosedurnya bagaimana? Ini masalah serius yang harus segera ditangani, sudah 6 bulan berlalu tapi hak-hak kami belum kami terima, mohon berikan kami jalan untuk bertemu beliau walau hanya 10 menit, kami tunggu kapanpun beliau bersedia!" ini karena beban dia sebagau perangkat desa yang setiap hari menerima keluhan masyarakat, dan juga tanpa prosedur birokrasi seperti ini. Namun jawabannya tetap sama.Akhirnya kami pun menyerah, dan membuat surat resmi untuk audiensi. Kami berharap semoga ini bisa menjadi jalan keluar bagi masalah masyarakat kelud. Harapan kami sebetulnya sangat sederhana, kumpulkan seluruh pemangku kebijakan kita bicarakan semua dengan melibatkan masyarakat. Karena ini kewajiban pemerintah dan hak masyarakat. Undang-undang telah mengaturnya mengenai perlakuan khusus bagi korban bencana.Ahh... Prosedur birokrasi jarang berpihak pada masyarakat. Semoga kejadian ini tidak terjadi di daerah lain doa kami. Biar kami saja yang merasakan pahitnya menuntut hak sebagai korban bencana..
KEMBALI KE ARTIKEL