Di PDIP, Megawati sebagai ketua umum PDIP. Dan Jokowi sebagai presiden negeri ini. Matahari akan terlihat kembar. Suara-suara lain mulai berani terdengar dikumandangkan. Seakan hendak melakukan yang mirip dilakukan SBY, megawati terlihat galau dan khawatir. Maka terbacalah upaya untuk tetap menjadi matahari tunggal.
Hanya saja, Jokowi saat ini menjadi kepala negara. Menjadi milik seluruh bangsa. Bukan lagi milik PDIP. Sudah lebih besar dari partai yang pernah ikut membesarkannya. Sehingga gerbong Mega pun seperti tersengat. Tapi, rakyat negeri ini balik marah saat ada upaya atau sikap yang merendahkan seorang kepala negara oleh sebuah partai. Sebuah sikap kerdil yang seharusnya tka dilakukan oleh orang besar.
PDIP dan Mega harus menyadari kalau Jokowi memang dari PDIP tapi sekarang sudah menjadi milik rakyat negeri ini. Rakyat akan tersinggung jika presidennya dilecehkan dengan atas nama apa pun. Apalagi kalau hanya karena kepicikan sekelompok orang yang hendak menjaga dinasti sambil berteriak-teriak tentang demokrasi.
Mega memang sebaiknya lengser. Terlalu lama berkuasa dalam sebuah partai pasti akan membuat sebuah partai tak bisa mandiri. Serahkan urusan partai pada yang lebih muda. Jangan ikuti gaya Suharto yang selalu mengatakan hendak turun tapi rakyat masih menghendaki. Apalagi, teriakan-teraiakannya tentang konstitusi yang semakin memuakkan. Lihat saja susunan DPP PDIP yang baru dilantik yang bisa dibaca sebagai sikap anti pemberantasan korupsi.
Sebauh akhir sejarah PDIP sedang dibuat kalau sikap para punggawanya hanya tunduk manggut-manggut kepada seorang Megawati tanpa berani bersikap atas fakta yang sudah berubah. Dan saat melihat pidato Megawati saat kongres kemarin jika dibandingkan saat wawancara dengan Najwa Sihab maka akan terlihat bagai langit dan bumi. Satu membanggakan dengan Indonesia rayanya, satunya lagi memuakkan dengan kemarahan yang kebablasan.