"Ada apa, Ndri?" tanya Fauzan.
"Seorang kakek," jawabku sambil menuntunnya karena takut dia jatuh.
Fauzan, Sidik, dan Soleh yang lagi asyik main gaple langsung mendekatiku.
"Kakek mau ke mana malam-malam begini?" tanya Fauzan penasaran.
Kakek itu tidak langsung menjawab. Â Seperti hendak berkata sedang kata-kata sendiri seperti ngumpet di tenggorokan kakek dan tak mau keluar.
"Ambilin minum, Ndri," kata Sidik.
Aku segera mengambilkan minum. Â Kakek itu minum dengan pelan seperti sedang mengeluarkan sesuatu yang begitu berat.
"Siapa nama, Kakek?" tanyaku saat melihat dia sudah agak tenang.
"Simun," jawabnya pendek.
"Kakek mau ke mana malam-malam begini?" tanyaku lagi.
Kakek menarik nafas dalam-dalam. Â Lalu, matanya menerawang begitu jauh. Â Sangat jauh. Â Sebelum akhirnya dengan sangat pelan berkata,"Kakek mau pulang."
"Rumah kakek di mana?"
"Sudah digusur."
"Tidur di pos ronda saja dulu, ya?"
"Kakek mau pulang."
"Katanya rumah kakek sudah digusur?"
"Tapi kakek pengin pulang. Â Kakek capai banget nak."
Aku menerawang jauh ke sebuah tempat. Â Waktu ada sebuah seminar di Paramadina. Â Ada Profesor Syafii Maarif yang berkata,"Kita telah menyia-nyiakan Pancasila. Â Apalagi sila kelimanya. Â Sila kelima telah menjadi yatim piatu."
Aku melihat kakek Simun. Â Wajah begitu capai. Â Juga penuh dengan cemas. Â Tak bisa pulang. Â Padahal dia ingin pulang. Â Ingin beristirahat.
Besoknya, orang satu RT ribut. Â Ada mayat kakek-kakek di Pos Rt. Â Aku hanya bisa menangis. Â Menangisi kakek Simun. Â Menangisi negeri ini.