Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Omong Kosong tentang "Kritik Membangun"

27 Desember 2013   10:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 1102 2
Istilah "kritik membangun" sangat populer pada zaman eyang Soeharto.  Dan beliaulah yang mempopulerkan istilah tersebut.  Sehingga semua pejabat dari menteri sampai lurah, bahkan RT selalu memantrakan istilah tersebut setiap kali ada pertemuan dengan masyarakat.  Dan mantra tersebut memang sangat fantastik dalam meredam setiap kritik.

Pertanyaannya, adakah kritik yang membangun?

Dalam pengertiannya saja sudah muter balik.  Kritik ada sebuah kerja kritis untuk melihat sebuah persoalan secara jeli.  Bukan hanya kebaikannya tapi juga kejelekannya.  Bukan hanya pada saat ini, tapi juga jauh melampaui waktu kini.  Sehingga kritik lebih menjadi jembatan untuk menuju penyelesaian persoalan.  Dan sikap krtis dari kritik jelas akan menyoroti persoalan dengan tajam sehingga akan terdengar "memerahkan telinga".  Apalagi bagi "badut-badut"orde baru yang telinganya sudah disetel hanya untuk apa pun asal menyenangkan.

Sedangkan "membangun" lebih dekat dengan sesuatu yang positif.  Sesuatu yang membanggakan.  Sesuatu yang menyenangkan.  Sehingga, "kritik membangun" hanyalah sebuah strategi para punggawa rezim otoriter untuk memberangus sikap kritis.  Karena tak mungkin ada kritik yang membangun.  Tentunya , jika diartikan dengan cara para ordebaruwan menerjemahkannya sebagai kritik yang menyenangkan bagi orang yang dikritik alias mereka sendiri yang sedang memegang tampuk kekuasaan.

Sebuah kritik pasti tidak membangun.  Kritik pasti akan menjatuhkan.  Akan tampak kebobrokan yang memang lebih sering sudah tampak begitu lebar di depan mata tapi sengaja dilindungi dengan kekuatan pucuk-pucuk senapan para penjaga rezim.  Kritik adalah sebuah upaya untuk menyeimbangkan penglihatan rabun penguasa pada saat itu.

Lalu, kalau kritik itu menjatuhkan, apa guna sebuah kritik?

Saya teringat selalu kata-kata bijak seorang ilmuwan hebat negeri ini yang sampai saat ini saya kagumi.  Beliaulah yang ikut mengubah pemikiran saya tentang "kritik membangun"ala orde baru ini.  Saya yang lehir dan dibesarkan dalam lingkup rezim orde baru tak bisa melepas diri dari kungkungan ajaran "kritik membangun"ala orde baru ini.  Sehingga saya pun selalu merasa jengah saat ada teman atau sahabat yang mengkritik pejabat dengan keras.  Saya ikut merasa bahwa teman atau sahabat saya itu tak bisa memahami bahwa kritik harus membangun.  Kritik destruktif harus disingkirkan.  Dan pemahaman saya tentang kritik destruktif sebagai antonim dari kritik membangun pun sudah sangat terpengaruh oleh pola pikir orde baru bahwa kritik keras adalah destruktif.

Beliau tersebut adalah Bapak Daniel Dakhidae.  Dia yang menyadarkan saya akan kesalahan pemahaman akan konsep "kritik membangun".  Ini disampaikan dalam sebuah seminar yang sempat saya ikuti tapi lupa di mana tempatnya.  Waktunya sekitar tahun 1994.  Ketika saya masih duduk di semeter akhir di sebuah perguruan tinggi di ibukota ini.

"Kritik membangun" tak pernah ada.  Karena kritik memang tak mungkin dengan bumbu pujian.  Kritik dengan pujian akan menjadi bukan kritik.  Kritik harus tajam menghujam.  Menguliti apa yang tersurat dan menohok yang tersirat.  Menjelujur hingga ke jantung persoalan.

Masih menurut beliau, seharusnya bangsa ini butuh "membangun dengan krtik" bukan dengan "kritik yang membangun" sebagaimana selama itu dilakukan.  Apa bedanya?

Dalam "membangun dengan kritik" sangat mengandaikan akan keaktifan orang yang dikritik.  Orang yang dikritik, baik secara personal maupun dalam kerangka jabatan yang disandangnya, bukanlah objek yang pasif dan harus mempertahankan diri.  Orang yang dikritik diposisikan menjadi subjek yang siap memperbaiki diri dengan kritik apa pun yang siap diterima sebagai konsekuensi sebagai sebuah jabatan publik.  Sehingga setiap kritik diterima dengan lapang dada dan untuk selanjutnya memperbaiki apa pun yang dilakukannya pada saat itu.

Jika "membangun dengan kritik" yang dilakukan bangsa ini, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar.  Karena setiap kritik, yang pada dasarnya sering dilandasi oleh perbedaan (baik dalam ideologi atau sekedar pendekatan), bisa memperkaya setiap langkah yang sedang atau akan dilakukan oleh bangsa ini.  Sikap frigid terhadap kritik hanya akan menjadikan bangsa ini kerdil dan tak dapat menghindar dari kemungkinan paling buruk, juga tak dapat memperkaya sudut pandang dalam menghadapi setiap persoalan yang datang menghampiri.

Dan saat ini, pendapat yang saya kutip dari seorang Daniel Dakhidae semakin relevan walau hal itu sudah dikemukan dua dekade yang lalu.  Di era demokratisas, di era segala masyarakat selalu "rewel" terhadap banyak hal, sikap atau perspektif menjadi Subjek bagi siapa pun yang menerima kritik adalah tempaan jiwa besar yang akan menjadikan bangsa ini juga bangsa yang besar.  Kerewelan dalam demokrasi adalah jalan agar setiap langkah terjamin baik bagi semua elemen masyarakat, bukan hanya untuk para pengambil keputusan belaka.

Kritik pada saat ini sudah menjadi hal biasa.  Mantra orde baru tentang "Kritik membangun" sudah mati bersama tumbangnya orde penopang mantra tersebut.  Tapi, kita masih bisa melihat, bagaimana para pejabat publik masih hidup bagai raja yang selalu menganggap dirinya wakil Tuhan di muka bumi dan menjadi sebuah keharamjadahan kalau ada rakyat kecil mengkritik kebijakannya.  Pejabat yang jelas-jelas masih terkungkung dalam pola kehidupan publik orde baru walau secara tidak langsung.

Mengenai "Kompasiana", beberapa waktu lalu, salah satu puisi saya yang berjudul "Asu" diberangus dengan alibi akan mengusik SARA.  Ini juga mantra orde baru yang ternyata masih disembah oleh kompasiana.  Untung saja "Kompasiana" hanya bisa memberangus tulisan saya dan tak bisa menjebloskan saya ke dalam jeruji besu sebagaimana SARA pada masa orba.  SARA pada masa orde baru adalah sarana paling efektif untuk menghajar siapa pun yang berbeda pendapat.  Mantra SARA seperti lafalan para intelijen untuk mengganyang setiap peredaan.  Dan anehnya, "Kompasiana" masih  menjadi penyembah berhala ini.

Perbedaan harus dirayakan.  Paling tidak seperti iklan yang ditunjukkan oleh Kompas.com.  Perbedaan adalah sunatullah.  Seandainya Tuhan akan menjadikan bumi ini hanya untuk satu umat dan satu suku, pasti bisa.  Tapi kenapa hal yang bisa dilakukan oleh Tuhan tak juga kunjung dilakukan?  Apa hanya karena Tuhan hendak beriseng ria melihat darah mengaliri bumi-Nya?  Jelas tidak!  Ada tujuan yang sangat mulia yang dicoba embankan oleh Tuhan kepada manusia dalam perbedaan yang begitu majemuk.  Tuhan tak pernah main-main.  Hanya kitalah manusia yang sering lupa melihat dengan mata hati.  Terkadang kita melihat justru dengan mata iri hati dan dengki.

Kompasiana juga harusnya merayakan perbedaan.  Kritik adalah remah-remah pupuk penyubur bagi kehidupan yang lebih baik di masa depan.  Admin Kompasiana harus menyadari akan hal itu.  Bahkan admin Kompasiana harus menjadikan kritik dan perbedaan sebagai ideologi.  Tanpa itu, Kompasiana hanya akan berbual belaka akan perbedaan dan kritik.

Kritik memang akan selalu menjatuhkan.  Kritik memang akan menghajar sendi-sendi kita.  Tapi, terpuruk atau tidaknya kita oleh kritik, hanya kitalah yang bisa membuatnya.  Jadikan diri kita sebagai subjek dari sebuah kritik.  Jadikan kritik sebagai jembatan untuk menuju kondisi yang lebih baik.  Jadikan kritik sebagai menu kehidupan publik kita.

Ayo kritik saya!  Jangan bermimpi Anda dapat memurukkan saya, karena setiap kritik Anda akan saya jadikan pijakan menuju tangga ketinggian jiwa saya.  Semoga!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun