"Nanti akan ada manusia-manusia tanpa kepala," kata nenek.
"Siapa mereka, Nek?" tanyaku penasaran.
Orang-orang tanpa kepala, kata nenek, adalah orang-orang pandai. Â Mereka sekolah hingga jenjang paling tinggi. Â Dan tak ada yang lebih tinggi lagi. Â Tapi, saking tinggi sekolah, mereka sampai lupa di mana harus meletakkan kepala. Â Hingga akhirnya mereka tak bisa menemukan kepalanya sendiri.
"Bagaimana mereka bicara, Nek?" tanya adikku yang ikut bingung mendengar cerita nenek yang satu ini.
"Mereka bicara seperti suara lebah. Â Tak jelas. Â Suara-suaranya seperti hentakan dari rasa yang dipendamnya selama ini. Â Mulai rasa marah yang sudah sedemikian membuncah. Â Rasa dendam yang tak mungkin lagi padam. Â Rasa sakit hati yang jeritannya seperti lengkingan paliing nyaring dan memekakkan," jelas nenek yang sudah pasti membuat kami semakin tak mengerti.
Lalu, pagi ini kami menonton televisi. Â Bersama anak yang masih balita. Â Sebuah berita muncul di televisi. Â Seorang angggota DPR sedang diwawancara. Â Suaranya tak jelas. Â Yang menguar dari mulutnya hanya semisal gerendengan. Â Lalu tiba-tiba berubah menjadi semisal raungan. Â Ya, dia seperti sedang mengungkap segala kemarahan, sakit hati, dan dendam.
Lalu anakku tiba-tiba berteriak, "Ayah, kepala orang itu ilang. Â Dia tak punya kepala lagi."
Dan sejak saat itu, setiap melihat ada anggota DPR diwawancara, selalu saja mereka tampil tanpa kepala. Â Dan omongannya sellau berupa gerendnegan dari rasa marah, dendam, sakit hati yang sedang mereka derita.
Oh, ternyata ini relevansi cerita nenek dulu.